"Saya kira halangannya tertutup benda keras atau tertutup lumpur," kata Isswarto yang juga Komandan Satuan Kapal Eskorta (Dansatkor) Koarmada I di Jakarta, Rabu, merujuk kendala ping locator yang tidak bekerja efektif memetakan letak CVR.
Ia mengatakan, CVR tersebut sulit dicari meski memancarkan sinyal ping. Sinyal yang timbul tenggelam itu dimungkinkan karena berada di dalam lumpur.
Dia memperkirakan CVR berada di dalam lumpur yang tebalnya sekitar 40-100 centimeter.
Isswarto menyebut ping locator itu sebagai High Presition Acoustic Positioning (Hipap) yang berfungsi untuk menangkap ping.
Pada umumnya, kotak hitam pesawat yang terdiri dari CVR dan Perekam Data Penerbangan (FDR) dilengkapi alat pemancar sinyal ping.
Hanya saja kerja pemancar ping itu menggunakan baterai yang bisa habis dalam waktu tertentu sehingga membuat tim pencari harus bekerja cepat untuk bisa mengangkat CVR.
Dalam kasus Lion Air JT 610, FDR sudah diangkat dan diserahkan ke Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Sementara CVR masih terus dicari oleh tim gabungan.
Dua unsur pesawat itu akan menjadi bukti penting dalam menyelidiki sebab jatuhnya pesawat.
Dia mengatakan "ping locator" yang digunakan tim pencari itu merupakan pinjaman dari KNKT.
"Jadi kami tidak tahu apa itu `ping locator` yang bagus atau CVR yang sudah melemah suaranya. Itu indikasinya kalau tidak tertutup benda yang lebih besar atau menancap di lumpur, penyelem kita mencoba berdiri di atas lumpur dan dalamnya setinggi lutut bahkan lebih," kata dia.
Tentu akan berbeda jika CVR itu berada di dasar laut yang tidak berlumpur karena bisa lebih mudah dideteksi.
Baca juga: BPPT jelaskan cara FDR Lion Air ditemukan
Baca juga: Kotak hitam CVR Lion Air hanya 200-300 meter dari FDR
Baca juga: KNKT sudah kantongi data kotak hitam JT 610
Pewarta: Anom Prihantoro
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018