Jakarta (Antara) - Kaum perempuan perlu meningkatkan kesadaran untuk melakukan deteksi dini kanker payudara mengingat penyakit tersebut menduduki peringkat pertama terbanyak di Indonesia, dari semua jenis kanker.Jadi ketika berbicara mengenai revitalisasi SMK, tidak hanya bangunan saja, namun gurunya harus ditingkatkan kompetensinya.
"Makin lanjut kanker ditemukan, maka akan semakin menyakitkan pada saat pengobatannya. Dampaknya akan semakin berat," kata penyintas kanker dr Inez Nimpuno saat menjadi pembicara talkshow "Kanker di Era Milenial: Pentingnya Deteksi Dini dan Perbaikan Cancer Care System", yang diselenggarakan oleh Yayasan Millennials Goes Pink (MGP) bersama Bursa Efek Indonesia (BEI), di Gedung BEI, Jakarta, Kamis.
Untuk itu, upaya melakukan kampanye akan pentingnya meningkatkan kesadaran deteksi dini terhadap bahaya penyakit kanker, termasuk kanker payudara di seluruh Indonesia harus terus dilakukan.
Inez mengatakan, menurut proyeksi World Health Organization (WHO), pada 2020-2030 sebanyak 70 persen kasus kanker baru akan terjadi di negara-negara miskin.
Selain itu, sebagian besar pengidap kanker baru akan berobat ketika sudah masuk pada stadium lanjut. Dimana pada tahap tersebut, kanker telah menyebar ke sejumlah organ tubuh lain.
Oleh karena itu, meningkatkan kesadaran pada deteksi dini dinilai sangat penting untuk mengurangi kesenjangan kanker secara global, khususnya di kalangan wanita Indonesia.
Menurutnya, banyak tantangan dan persoalan dalam sistem pengobatan kanker di Indonesia. Salah satunya adalah persoalan akses layanan terapi kanker masih belum maksimal. Mulai dari deteksi dini yang belum melembaga, kesulitan faskes, kelangkaan obat, hingga antrian pasien saat ini berkonsultasi atau berobat.
"Kanker ini membutuhkan spesialisasi sangat tinggi, sementara terkadang dokter dan alat-alat tidak mencukupi," imbuhnya.
Disamping itu, lanjut dia, standarisasi pada pelaksanaan pelayanan kanker masih belum cukup baik. "Makanya masyarakat masih sering mencari second opinion," ujar Inez.
Dia mengatakan, pengobatan penyakit kanker cukup mahal. Bukan hanya bagi pasien, namun juga cukup membebani negara, melalui sistem BPJS.
Disebutkan, biaya pelayanan penyakit kanker menghabiskan sekitar 17 persen dari seluruh biaya jaminan kesehatan nasional. Sementara untuk pembiayaan obat-obatan kanker, mencapai 43 persen dari seluruh belanja obat untuk semua penyakit. Hingga 2017, tercatat Rp2,8 Triliun dikeluarkan negara untuk terapi kanker dari BPJS.
"Jadi kita tidak hanya bisa bersandar pada BPJS. Maka, pencegahan dan deteksi dini sangat perlu dilakukan," katanya.*
Baca juga: YKPI : Deteksi dini perbesar kemungkinan kanker sembuh
Baca juga: Spesialis: jangan anggap remeh benjolan di payudara
Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018