Mataram (ANTARA News) - Baiq Nuril Maknun saat ini harus menjalankan putusan kasasi tanggal 26 September 2018 dengan kurungan enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.Jangan sampai putusan yang diambil majelis hakim menciderai hak-hak seseorang yang melakukan sebuah perbuatan itu demi melindungi dirinya dari tindak pelecehan.
Saat ini kejaksaan tinggal melakukan eksekusi atas putusan kasasi Mahkamah Agung tersebut mengingat sudah berkekuatan hukum tetap. Kendati yang bersangkutan mengajukan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK), namun tidak menghalangi upaya eksekusi tersebut.
Baiq Nuril Maknun merupakan guru honorer SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, korban pelecehan, namun terjerat UU Informasi Transaksi Elektronik. Baiq Nuril merekam pembicaraan dirinya dengan pimpinannya mantan Kepala SMAN 7 Mataram, H Muslim.
Perekaman itu tidak terlepas sebagai wujud untuk melindungi dirinya dari pelecehan yang dilakukan bosnya tersebut. Kemudian dirinya dilaporkan pimpinannya itu ke polisi karena dianggap telah mendistribusikan rekaman perbicangan tersebut.
Dalam putusan pengadilan tingkat pertama, Baiq Nuril tidak terbukti melakukan pendistibusian rekaman atau melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan akhirnya divonis bebas.
Namun, putusan kasasi itu benar-benar menciderai dunia hukum di Indonesia dimana seseorang yang menjadi korban pelecehan dan melindungi dirinya namun harus menjadi pesakitan.
Putusan hakim kasasi kasus Nuril menjadi kontroversial karena awalnya Nuril sebagai korban malah kini menempatkan Nuril sebagai terdakwa dan dijatuhi pidana. Ini adalah potret buruk hukum karena sangat bertentangan dengan asas hukum dan tujuan hukum yang menempatkan rasa keadilan bagi masyarakat, demikian Azmi Syahputra, dosen pidana Universitas Bung Karno.
Memang wajar publik, LSM sampai akademisi yang terganggu atas putusan itu, dan mencoba menyuarakan kegelisahan pelanggaran hak seseorang oleh para penegak hukum itu.
Seperti diketahui, terdapat tiga tujuan hukum yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga tujuan hukum itu haruslah menjadi pegangan bagi para penegak hukum di tanah air.
Yang menarik tujuan kemanfaatan hukum, yaitu apakah perkara itu adanya manfaatnya bagi penegakkan hukum atau apakah bisa menimbulkan keresahan dari masyarakat. Tampaknya ini tidak menjadi suatu pertimbangan oleh majelis hakim kasasi.
Azmi Syahputra bahkan berani menyatakan bahwa hakim kasasi gagal fokus pada pembuktian dan kausalitas kejahatan ini. "Jadi yang jadi pintu kejahatannya adalah perbuatan pimpinan di unit bekerjanya Nuril inilah muasal kejahatan," katanya.
Seharusnya, kewenangan dan perintah UU kekuasaan kehakiman, majelis hakim lebih berani menggali hukum dan fakta termasuk dalam hal ini menemukan hukum jika mengacu pada pasal 191 KUHAP.
Nuril semestinya bebas atau lepas dari tuntutan hukum bukan pula dijatuhi hukuman pidana.
Selanjutnya PK dapat dilakukan dengan mengacu pada 263 KUHAP.
PK dapat diajukan jika memang hakim tidak teliti atau ada kekeliruan yang nyata atau ada perbuatan dalam pembuktian yang saling bertentangan, yakni dalam hal ini bagaimana posisi seorang dari sebuah peristiwa yang korban dijadikan sebagai terdakwa.
"Selain itu, kejaksaan juga harus lebih bijaksana jangan terburu buru mengeksekusi," katanya.
Bagaimana solusinya?. dirinya meminta agar tim advokasi hukum Nuril harus melakukan upaya hukum luar biasa berupa PK (peninjauan kembali), mengingat reaksi publik yang semakin merasakan terganggunya rasa keadilan masyarakat saat ini.
Tim advokasi harus menyisir fakta dan bukti secara jika perlu memperluas dengan melibatkan civitas kampus khususnya terhadap makna unsur tanpa hak dan dengan unsur sengaja dalam pasal 27 UU ITE. Karena sangat jelas diketahui bahwa motivasi Nuril melakukan itu adalah guna membuktikan bahwa atasannyalah yang melakukan perbuatan tercela.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara meminta Presiden Joko Widodo turun tangan dalam mengatasi kasus yang menimpa Baiq Nuril Maknun, guru honorer SMA 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, korban pelecehan, namun terjerat UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE).
"Saya sangat berharap sekali Pak Presiden dapat turun tangan atas masalah yang dialami Bu Nuril. Kasus ini sudah merusak kepercayaan kepada negara dan hukum," kata Anggara saat konferensi pers di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Jakarta, Jumat.
Presiden bisa turun tangan dengan memberikan Amnesti (penghapusan hukuman), walaupun ini biasanya dilakukan untuk masalah politik namun dia berharap bisa diberikan dalam kasus Baiq Nuril ini.
"Karena hukum tidak mungkin lagi, yang kami usulkan adalah amnesti. Amnesti itu adalah tindakan sepihak dari presiden untuk mengampuni seseorang baik yang telah dibuktikan bersalah, sedang persidangan, atau masih dalam proses penyidikan," jelas Anggara.
Ketua Komnas Perempuan Azriana R Manalu menyebutkan putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan Baiq Nuril bersalah itu tidak sejalan dengan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang tentang Pedoman Hakim Mengadili Kasus Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Pada Pasal 4 Perma 3/2017 disebutkan: Dalam pemeriksaan perkara, hakim agar mempertimbangkan kesetaraan gender dan non diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan, yakni: a. ketidaksetaraan status sosial antara pihak berperkara, b. ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan, c. diskriminasi, d. dampak psikis yang dialami korban, e. relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya, dan g. riwayat dari pelaku terhadap korban/saksi.
Menurut Azriana, tindakan Nuril merekam merupakan upaya untuk membuktikan kejadian pelecehan seksual yang dia alami. Tindakan itu juga untuk menunjukkan Nuril tidak memiliki hubungan khusus dengan pelaku.
"Pandangan Hakim Kasasi terhadap Baiq Nuril melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE di mana tindakan BN secara hukum dianggap memenuhi unsur sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, telah melanggar filosofi UU ITE," kata Azriana.
Tujuan utama pembuatan UU ITE yakni untuk membuktikan tindakan kejahatan dengan memanfaatkan teknologi. Sementara Nuril menggunakan teknologi untuk membela dirinya dari kejahatan yang dialami.
Sementara Baiq Nuril menggunakan teknologi untuk membela dirinya dari kejahatan yang paling sulit dibuktikan dalam sistem hukum di Indonesia. Dalam konteks ini ada ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak pada akses keadilan BN," katanya.
Mengajukan PK
Baiq Nuril Maknun sendiri berencana mengajukanupaya hukum Peninjauan Kembali (PK) terkait putusan majelis kasasi Mahkamah Agung yang menyatakannya bersalah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Putusannya memang sudah berkekuatan hukum tetap, tapi kita menunggu salinan putusannya, baru mengajukan upaya hukum PK," kata Joko Jumadi, kata kuasa hukum Baiq Nuril.
Mahkamah Agung melalui majelis kasasi yang dipimpin Hakim Agung Sri Murwahyuni, pada 26 September 2018, menjatuhkan vonis hukuman kepada Baiq Nuril selama enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.
Dalam putusannya, majelis kasasi Mahkamah Agung menganulir putusan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Mataram yang menyatakan Baiq Nuril bebas dari seluruh tuntutan dan tidak bersalah melanggar Pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pengadilan Negeri Mataram melalui majelis hakim yang dipimpin Albertus Husada pada 26 Juli 2017 dalam putusannya menyatakan bahwa hasil rekaman pembicaraan Baiq Nuril dengan H Muslim yang diduga mengandung unsur asusila dinilai tidak memenuhi pidana pelanggaran Undang-Undang Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dari fakta persidangan di pengadilan tingkat pertama, majelis hakim menyatakan bahwa tidak ditemukan data terkait dengan dugaan kesengajaan dan tanpa hak mendistribusikan informasi yang bermuatan asusila.
Majelis hakim saat itu menyatakan, yang mendistribusikan hasil rekaman tersebut adalah Imam Mudawin, rekan kerja Baiq Nuril saat masih menjadi tenaga honorer di SMAN 7 Mataram.
Hal itupun disampaikan majelis hakim berdasarkan penilaian hasil pemeriksaan Tim Digital Forensik Subdit IT Cyber Crime Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Tipideksus) Bareskrim Polri terhadap barang bukti digital yang disita tim penyidik kepolisian.
Karena itu, barang bukti digital yang salah satunya adalah hasil rekaman pembicaraan Baiq Nuril dengan H Muslim, mantan Kepala SMAN 7 Mataram, itu dinilai tidak dapat dijadikan dasar bagi penuntut umum dalam menyusun surat dakwaannya.
Saat ini, publik tengah menunggu hasil dari langkah hukum selanjutnya yang dialami Baiq Nuril. Jangan sampai putusan yang diambil majelis hakim menciderai hak-hak seseorang yang melakukan sebuah perbuatan itu demi melindungi dirinya dari tindak pelecehan.*
Baca juga: Baiq Nuril akan mengajukan penundaan eksekusi
Baca juga: Akademisi: Keputusan MA terhadap Baiq Nuril jauh dari keadilan
Pewarta: Riza Fahriza
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018