Jakarta (ANTARA News) - Siswa dan guru di sekolah semakin memiliki problem dengan karakter yang mencerminkan keberagaman, kesetaraan dan kebebasan warga negara. Sehingga melalui pengajaran puisi esai, para guru dapat membangun karakter siswa di sekolah.Dengan sedikit riset, fakta dan data di lingkungan sosial oleh para siswa dapat dituliskan dalam catatan kaki. Mereka menambahkan fiksi sehingga kisah nyata itu menjadi drama, menjadi cerpen yang dipuisikan."
Penggagas komunitas puisi esai, Denny JA dalam keterangan persnya di Jakarta, Sabtu, mengatakan, komunitas puisi esai memberikan masukan upaya pengajaran karakter siswa di sekolah.
Pendidikan karakter melalui agama dan Pancasila sudah dilakukan, namun perlu ditambahkan pengajaran puisi esai yaitu jenis puisi yang panjang, dengan catatan kaki, yang memberi ruang bagi drama moral yang menyentuh.
Riset dari PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2018) dan survei LSI Denny JA (2018) menemukan semakin tingginya tingkat intoleransi di kalangan siswa, bahkan di kalangan para guru.
Di luar riset itu, juga diketahui luas isu soal narkoba, pernikahan dini, apatisme atas isu lingkungan, keluarga yang patah (broken home), dan pencarian identitas diri di kalangan siswa.
Denny menjelaskan, sastra bukan hanya belajar karya baku para sastrawan. Sastra adalah ekspresi para siswa dan mahasiswa atas lingkungan sosialnya sendiri, kemarahannya, ketakutannya, kegembiraanya, harapannya.
"Dengan sedikit riset, fakta dan data di lingkungan sosial oleh para siswa dapat dituliskan dalam catatan kaki. Mereka menambahkan fiksi sehingga kisah nyata itu menjadi drama, menjadi cerpen yang dipuisikan," ujarnya.
Menurut Denny, detail soal puisi esai dapat dipelajari para guru dan dosen melalui buku puisi esai. Pembaca dapat pula membacanya secara online.
Buku tersebut berisi 176 penyair dari 34 provinsi sudah menuliskan "local wisdom" di provinsinya masing-masing dalam 34 buku puisi esai. Kisah budaya Indonesia di 34 provinsi tersaji di buku tersebut.
Sebanyak 12 penyair Malaysia dan Indonesia sudah pula menuliskan riwayat hubungan dua negara dalam puisi esai. Dengan mempelajari hubungan kultural dan batin Indonesia justru lebih terasa dalam bentuk sastra.
Kini penyair dari Brunei, Thailand, Singapura menuliskan riwayat kulturnya sendiri, juga dalam puisi esai. Di Malaysia, bahkan diluncurkan lomba menulis puisi esai di tingkat ASEAN.
Denny menambahkan, kini anak anak SMA di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua, mulai pula melakukan riset soal dunia mereka sendiri. Riset itu ditambahkan fiksi menjadi puisi esai.
"Puisi esaipun berkembang menjadi cara baru menuliskan opini, menjadi dokumen baru mempelajari sebuah persoalan. Itu sebuah ikhtiar jika puisi esai juga masuk sekolah, ikut membentuk karakter siswa," pungkasnya.
Baca juga: Pendidikan etika dan moral harus ditekankan untuk membentuk karakter siswa
Baca juga: Mendikbud: sepak bola bagian dari pendidikan karakter murid
Baca juga: Mendikbud: festival dan lomba seni siswa perkuat pendidikan karakter
Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018