• Beranda
  • Berita
  • Lebih takut kehilangan pekerjaan atau nyawa? Oleh M. Irfan Ilmie

Lebih takut kehilangan pekerjaan atau nyawa? Oleh M. Irfan Ilmie

22 November 2018 12:33 WIB
Lebih takut kehilangan pekerjaan atau nyawa? Oleh M. Irfan Ilmie
Salah satu pintu masuk pos pemeriksaan keimigrasian di Luohu, Shenzhen, Provinsi Guangdong, China, yang berbatasan dengan Hong Kong. (M. Irfan Ilmie)

Kalau hendak memperbarui paspor, baru ketahuan bahwa yang bersangkutan telah banyak berada di China

Tenaga Kerja Indonesia (TKI), yang dipekerjakan di dua tempat berbeda di Hong Kong dan China daratan tanpa dokumen yang sah, masih marak terjadi.

Padahal praktik tersebut ilegal dan termasuk kategori tindak kejahatan perdagangan manusia atau "human trafficking" yang menjadi perhatian dunia internasional.

Praktik itu ilegal karena di setiap perjanjian kontrak kerja disebutkan bahwa TKI hanya dipekerjakan di satu alamat.

Jika kontrak kerjanya di Hong Kong, maka TKI yang bersangkutan hanya bisa dipekerjakan di bekas koloni Inggris itu.

Apa pun alasannya, majikan di Hong Kong tidak bisa serta-merta mengajak TKI ke lain tempat di luar kesepakatan yang ditandatangani bersama, apalagi kalau sampai melintasi wilayah perbatasan yang membutuhkan visa atau dokumen perjalanan lainnya, untuk dipekerjakan.

Kalau sampai TKI yang bersangkutan mengalami kecelakaan kerja di luar tempat yang telah disepakati bersama hingga berakhir kematian atau cacat permanen, siapakah yang bertanggung jawab?

Bukan andai-andai, tapi kasus seperti ini sudah terjadi. Pekerja perempuan asal Filipina tewas saat membersihkan jendela rumah majikannya asal Hong Kong di Shenzhen, China.

Nasib tragis juga dialami seorang TKI bernama Eka. Korban mau saja saat diajak majikannya di Hong Kong bepergian ke wilayah daratan China.

Tidak tahunya di wilayah daratan Tiongkok itu, Eka dipekerjakan di pabrik. Ironisnya, di pabrik itulah dia kehilangan nyawa setelah terkena sengatan listrik pada 2015.

Sejauh ini misteri tewasnya Eka belum terbongkar, meskipun sejak setahun yang lalu otoritas Hong Kong menyampaikan keinginannya untuk membuka kembali kasus itu.

Sayangnya, itikad tersebut tidak cukup kuat membendung gelombang TKI yang menyeberang ke daratan dengan mengabaikan segala risiko dan ancaman yang bakal dihadapinya, sekalipun nyawa taruhannya.

Longgar

Konsul Jenderal RI untuk Hong Kong Tri Tharyat menyesalkan maraknya praktik tersebut.

Dua nyawa yang menjadi tumbal sepertinya juga belum cukup ampuh mengendurkan animo para TKI melintasi wilayah perbatasan.

Para TKI lebih takut kehilangan pekerjaan daripada kehilangan nyawa karena mereka enggan menolak ajakan majikannya yang ujung-ujungnya dipekerjakan secara ilegal di tempat kerja yang sama sekali asing dan tidak tertera dalam kontrak kerja.

Fenomena ketidakberdayaan buruh migran seperti itu tergambar manakala Konsulat Jenderal RI di Hong Kong mendorong mereka melaporkan bentuk pelanggaran kontrak kerja tersebut kepada aparat kepolisian setempat.

"Saya mesti pahami ini karena mereka takut kehilangan pekerjaan. Ini satu hal yang cukup disesalkan," ujar Tri.

Yang membuatnya tertegun adalah begitu mudahnya para TKI Hong Kong itu memasuki wilayah China daratan yang sampai saat ini terlarang bagi pekerja sektor domestik.

Padahal pemeriksaan di keimigrasian di kedua sisi wilayah perbatasan itu sangat ketat.
 
Antrean pemeriksaan imigrasi Hong Kong di pos perbatasan Lowu. (M. Irfan Ilmie)

"Apa tujuan Anda ke Hong Kong? Apakah Anda masih kembali lagi ke China?" tanya petugas imigrasi di pos perbatasan Luohu (China) atau Lowu (Hong Kong) sebelum membukakan pintu otomatis kepada Antara menuju tangga stasiun kereta Lowu pada 15 November 2018.

Secarik kertas kuning muda yang dikeluarkan oleh pihak Imigrasi China dan kertas berwarna putih dari Imigrasi Hong Kong dianggap belum cukup tanpa menanyai langsung kepada pelintas wilayah perbatasan yang hanya dipisahkan sungai kecil itu.

Nasib kurang beruntung dialami oleh wartawan Thailand yang saat itu bersama-sama melintasi wilayah perbatasan Hong Kong-China seusai menunaikan tugas liputan di Shenzhen.

Reporter salah satu media cetak di Thailand itu baru bisa lolos setelah diinterogasi petugas Imigrasi Hong Kong selama hampir tiga jam.

Dengan menyusuri pos perbatasan darat itu, wilayah Hong Kong dan China bisa ditempuh kurang dari lima menit hanya dengan berjalan kaki.

Ketatnya pemeriksaan di pos perbatasan tersebut seharusnya juga dialami oleh siapa saja, termasuk para TKI yang secara nyata tidak memiliki dokumen perizinan kerja di wilayah China daratan.

Mereka yang leluasa lalu-lalang di wilayah perbatasan itu adalah orang-orang berpaspor atau berkartu identitas China atau Hong Kong.

Atau setidaknya adalah orang berpaspor asing yang mengantongi visa yang dikeluarkan pemerintah China, baik 'visa on arrival' atau visa transit atau bahkan visa residen.

Kalau tidak ada visa, jangan coba-coba memasuki wilayah China daratan karena sudah kondang pemerintah setempat sangat ketat dalam menerapkan sistem keimigrasian.

Lalu, kenapa masih banyak TKI yang masih saja lolos bekerja di China? "Saya agak 'surprise' saja, seharusnya tidak semudah itu memperoleh visa," jawab Konjen.

Tidak hanya Lowu, akan tetapi ada 13 pos perbatasan lainnya yang biasa dilalui oleh para TKI dari Hong Kong menuju daratan Tiongkok itu.

Data yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Hong Kong pos-pos pemeriksaan selain Lowu ada di Bandara Internasional Hong Kong, Hung Hom, Lok Ma Chau, Lok Ma Chau Spur Line, Man Kam To, Sha Tau Kok, Terminal Feri China, Terminal Feri Makau, Terminal Feri Tuen Mun, Shenzhen Bay, Terminal Kapal Pesiar Kai Tak, Stasiun Kereta Cepat West Kowloon, dan Jembatan Hong Kong-Zhuhai-Makau (HZMB).

Pos pemeriksaan yang disebut terakhir itu baru dibuka pada awal Oktober 2018 seiring dengan mulai dioperasikannya HZMB, jembatan di atas laut sepanjang 54 kilometer yang mulai banyak dilintasi kendaraan berpenumpang dari Hong Kong, Makau, dan Zhuhai (China).

Para TKI boleh saja mengaku bisa memasuki wilayah China karena bareng majikan, namun tidak sedikit yang bepergian sendirian.

Selain dapat dilihat secara nyata di pos-pos perbatasan tersebut, buku paspor para TKI yang dipekerjakan secara ilegal sudah penuh atau halaman habis sebelum masa berlaku berakhir.

Untuk bisa memasuki wilayah China, petugas imigrasi membubuhkan stempel pada halaman paspor yang kosong setelah memeriksa visa yang bersangkutan dan formulir isian berwarna kuning muda.

Hal ini berbeda dengan Hong Kong dan Makau yang pengesahannya tidak berupa cap stempel, melainkan secarik kertas yang ukurannya lebih kecil daripada struk belanja.

"Kalau hendak memperbarui paspor, baru ketahuan bahwa yang bersangkutan telah banyak berada di China," ujar Tri.

Baca juga: TKI siap ramaikan persaingan "caregiver" Hong Kong
Baca juga: Marak, kasus TKI kerja di Hong Kong-China


 

Oleh M. Irfan Ilmie
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018