Kepala Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Dirhamsyah dalam keterangan tertulisnya diterima di Jakarta, Kamis, mengatakan ekspedisi kelautan ini penting bagi Indonesia karena akan digunakan untuk memberikan rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo untuk kebijakan pengelolaan pulau-pulau terluar yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta karakteristik sumber daya alamnya.
LIPI melalui Pusat Penelitian Oseanografi melakukan Ekspedisi Nusa Manggala yang berlangsung sejak 16 Oktober sampai dengan 23 Desember 2018 di delapan pulau terluar di Provinsi Papua, Papua Barat dan Maluku Utara yang berada di kawasan Samudera Pasifik yakni Pulau Yiew, Budd, Fani, Miossu, Fanildo, Bras, Bepondi, dan Liki.
Menurut Dirhamsyah, selama ini informasi mengenai potensi pulau-pulau terluar masih belum cukup lengkap.
"Kami tidak ingin kejadian hilangnya dua pulau terluar Sipadan dan Ligitan terulang kembali karena kurangnya informasi pengelolaan pulau terluar. Beberapa penduduk di kawasan pulau terluar bahkan masih menggangap Presiden Indonesia sekarang adalah Susilo Bambang Yudhoyono."
Dirhamsyah mengungkapkan perlu ada informasi yang berbasis hasil penelitian yang lengkap dari berbagai aspek mulai pertahanan dan keamanan wilayah, keanekaragaman hayati, geografi kawasan, sampai sosial dan ekonomi masyarakat.
Ekspedisi yang didukung Bank Dunia ini dibagi menjadi tiga "leg" dengan durasi setiap "leg" selama 20 hari pelayaran. Tim ekspedisi peneliti yang terdiri dari peneliti LIPI, Badan Informasi dan Geospasial, personel TNI Angkatan Laut, jurnalis, serta dosen dan mahasiswa dari enam perguruan tinggi se-Indonesia melakukan kegiatan penelitian di kapal riset Baruna Jaya VIII milik LIPI.
"Leg" pertama telah selesai dilakukan pada Rabu (14/11), setelah menyelesaikan etape Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara hingga bersandar di Pelabuhan Biak.
Temuan
Koordinator Penelitian "Leg" I, Hadiyanto mengungkapkan untuk leg pertama tim peneliti telah melakukan observasi di pulau Yiew, Budd, Fani, Bras, dan Fanildo. Beberapa pulau seperti Yiew dan Budd adalah pulau tidak bepenghuni.
"Untuk pulau tak berpenghuni, kami melakukan pemetaan keanekaragaman hayatinya, status pencemaran, dan topografi pulau. Sementara untuk yang berpenghuni kami mempelajari kehidupan penduduknya, juga latar sosial budayanya," kata Hadiyanto.
Di Bras dan Fanildo tim peneliti menemukan atol dengan lingkaran cincin terumbu karang yang utuh. Atol ini menjadi pelindung alami dari gelombang laut untuk terumbu karang tumbuh.
"Di atol ini ditemukan beberapa spesies terumbu karang dari jenis Lobophylia dan Tubipora yang banyak terdapat di kawasan Oceania," ujar Hadiyanto.
Menurut peneliti bidang biologi laut Pusat Penelitian Oseanografi LIPI ini, terumbu karang jenis ini punya nilai ekonomi tinggi di pasar dunia.
Sedangkan di pulau Fani, tim peneliti sosial mencatat perlunya perbaikan fasiltas patroli penjaga perbatasan seperti perahu karet yang bocor, solar cell yang tidak berfungsi, serta perlengkapan navigasi yang perlu diperbaiki.
"Pulau ini merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan wilayah negara Palau. Infrastruktur sudah cukup memadai namun untuk logistik tergantung operasional? kapal Sabuk Nusantara yang mengangkut bahan-bahan kebutuhan pokok tiap dua minggu sekali dari Biak," jelasnya.
Menurut Hadianto, dalam satu setengah bulan terakhir kapal milik Pelni ini terkendala operasi karena gelombang tinggi di wilayah perairan Papua.
Ekspedisi Nusa Menggala dilanjutkan di leg kedua pada Sabtu (17/11). Dari Pelabuan Biak, kapal Baruna Jaya VIII akan berlayar di pulau-pulau terluar di kawasan Papua yakni Bepondi, Liki dan Miosu. Titik akhir dari leg kedua ini adalah Pelabuhan Sorong.
Baca juga: LIPI siapkan ekspedisi ke pulau terdepan Papua
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018