"Kita butuh payung hukum yang mengatur secara jelas bentuk-bentuk kekerasan seksual yang beragam, upaya pencegahannya, hingga penanganan yang terintegrasi dalam satu pintu termasuk pemulihan korban," kata Valentia di Jakarta, Jumat.
Saat ini Indonesia baru memiliki UU PKDRT yang hanya dapat melindungi korban dalam ranah domestik atau rumah tangga saja.
Sedangkan korban-korban yang mengalami kekerasan di ranah lain cenderung mengalami reviktimisasi dan hak-haknya terabaikan karena bertumpu pada KUHP yang masih mendiskualifikasikan pengalaman korban.
Selain itu korban juga tidak diberikan pemulihan serta stigmatisasi terus berjalan menimpa korban dan bahkan keluarganya.
Kekosongan mekanisme hukum tersebut memicu keenganan korban kekerasan seksual untuk melapor, dan akhirnya praktik-praktik kekerasan seksual semakin dianggap menjadi hal yang biasa.
Untuk itu UU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sudah masuk dalam agenda prolehnas DPR RI sejak 2014 harus segera disahkan.
Urgensi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai sebuah trobosan hukum dalam perlindungan dan penanggulangan kekerasan seksual belum dipahami sepenuhnya.
Dalam pembahasaan RUU tersebut, DPR dan pemerintah haruslah melibatkan partisipasi dan masukan dari masyarakat terutama kelompk penyintas dan pendamping, sehingga UU yang dihasilkan dapat menjadi terobosan yang efektif.
Tak hanya itu, pembahasaan RUU tersebut harus menggunakan prinsip-prinsip CEDAW yakni prinsip kesetaraan substantif, nondiskriminatif, dan kewajiban negara.
Baca juga: Bamsoet desak DPR-Pemerintah selesaikan RUU PKS
Baca juga: KPPPA: RUU PKS muat 55 pasal
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2018