Dia membuang batu-batu kerikil yang ikut terjaring, tetapi tak ada ikan. Menurut Zakir, nama nelayan itu, bukan sulit mendapatkan ikan tetapi ia belum berani melaut terlalu jauh.
"Masih ngebayangin kalau ke laut terus tsunami gimana, lari kemana," kata Zakir yang baru berani ke laut satu bulan kemudian pasca tsunami.
Zakir masih trauma. Tidak hanya untuk melaut, namun juga saat malam hari.
"Sampai sekarang masih trauma, kalau tidur, goyang sedikit langsung lari keluar," tuturnya.
Masih melekat dalam ingatan Zakir, suara gemuruh air tsunami pada 28 September malam, yang kemudian meluluhlantakkan rumahnya sampai habis. Rumah Zakir tidak jauh dari Pantai Talise.
Bencana gempa bumi berkekuatan 7,4 pada Skala Richter 28 September 2018, mengakibatkan tsunami dan likuifaksi yang meluluhlantakkan Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala dan menelan dua ribu lebih korban jiwa.
"Suaranya.. suara pesawat kalah. Saya langsung lari ke arah gunung sama orangtua. Untung anak istri sedang pulang kampung," kata Zakir.
Pantai Talise yang terletak di Kecamatan Palu Timur itu menjadi salah satu tempat yang terdampak paling parah akibat sapuan gelombang tsunami.
Pantai itu tadinya tempat nongkrong favorit warga Palu. Bagaimana tidak, pemandangan birunya laut yang indah menjadi semakin eksotis dengan bukit-bukit yang menjulang cantik sebagai latarnya.
Tidak jauh dari pantai, berdiri kokoh Masjid Arkam Babu Rahman, masjid terapung yang merupakan salah satu ikonik Kota Palu. Kini, masjid tersebut sudah tidak semegah dulu karena tersapu tsunami, nyaris terendam meski masih berdiri tegak.
Sementara ribuan bangunan di sekitar pantai sudah habis dilahap gelombang tsunami, termasuk rumah Zakir, kampung kelahirannya.
"Sedih lihat kampung kelahiran jadi seperti ini, tapi mau apa, namanya bencana. Harus bangkit," ujar Zakir yang tidak pernah menyangka ditempat kelahirannya itu akan dilanda tsunami.
Mengungsi
Kini, Zakir harus tinggal di tenda pengungsian. Sesekali ia menengok rumahnya yang sudah rata dengan tanah.
"Sekarang sementara tinggal di tenda. Harapannya bisa cepat punya rumah lagi dan ada bantuan untuk nelayan supaya ekonomi di pesisir bagus," tuturnya.
Fitriana juga masih harus bergelut dengan trauma. Pengungsi di Balaroa, Kelurahan Duyu itu beruntung tidak kehilangan tempat tinggal. Meski demikian, ia memilih tinggal di tenda di kompleks hunian nyaman terpadu (Integrated Community Shelter/ICS).
"Saya sudah coba pulang ke rumah, tapi kalau sudah masuk ingin cepat-cepat keluar. Apalagi kalau ke kamar, saya masih takut," tutur ibu tiga anak itu.
Rumah Fitriana yang ditempati bersama kedua orangtua, neneknya yang berusia 106 tahun dan kakak-kakaknya itu hanya mengalami rusak ringan. Lantainya retak akibat likuifaksi, fenomena pencairan tanah yang menyebabkan banyak rumah hilang ditelan Bumi.
Fitriana harus mengatasi traumanya karena setelah Desember, ia harus meninggalkan tenda. Sebanyak 96 Kepala Keluarga sudah dipindahkan ke unit hunian sementara/ICS, yang dibangun Aksi Cepat Tanggap (ACT) di Kelurahan Duyu untuk dua tahun kedepan.
Fitriana tidak termasuk pengungsi yang mendapat unit hunian sementara karena rumahnya hanya mengalami rusak ringan.
Kepala Posko ICS Kelurahan Duyu, Irsan, mengatakan pengungsi yang mendapat unit di area pengungsian tersebut adalah yang rumahnya hilang akibat likuifaksi, keluarga yang memiliki bayi atau balita atau ibu hamil maupun lansia.
Namun, masih ada 30 Kepala Keluarga pengungsi yang tidak memenuhi syarat tersebut tetap bertahan di tenda karena trauma kembali ke rumah mereka. Padahal pada Januari nanti, tenda-tenda sudah akan dibongkar.
Masalah air
"Masalah di wilayah ini adalah air bersih. Padahal sumber air di Palu itu dari Duyu, tetapi orang-orang Duyu malah kesulitan air," ungkap Irsan.
Di kompleks hunian ICS wilayah Duyu mendapat aliran air dari PDAM sebanyak 4.000 liter per hari, namun kata Irsan, itu tidak cukup.
"Sekarang ACT sedang mengebor di sini, baru masuk 20 meter. Kalau air sudah habis, warga akan cari air sendiri ke sumber air terdekat," tutur Irsan.
Salah satu pengungsi, Muhammad Ivan Amanta mengaku kadang harus cari air di sungai dekat area pengungsian.
"Bisa tidak mandi kalau air sudah habis," ujar Ivan yang kini duduk di bangku 2 SMP itu.
Ivan yang tinggal dengan kedua orangtuanya kini harus pindah ke pengungsian karena rumahnya sudah hilang tertelan Bumi.
Selasa (27/11) sore itu, Ivan sedang berkumpul bersama teman-temannya yang juga kehilangan rumah. Mereka mencoba menikmati tinggal di pengungsian sampai entah kapan.
Baca juga: Sulteng akan pindahkan sekolah dari area terdampak likuifaksi
Baca juga: Putri: "Mama deng papa sudah di surga"
Oleh Monalisa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018