“Ini adalah momentum bagi pelaku bisnis perikanan di Indonesia, baik yang tangkapan laut, processing, maupun pembudidaya. Saatnya, pelaku bisnis untuk lari dan meloncat,” tegas Susi dalam acara seminar Innovative Aquaculture di Jakarta, Kamis.
Ia mengingatkan bahwa ekspor udang pada tahun 2001 hingga 2004 itu meningkat tajam, hanya saja hal tersebut bukan prestasi yang membanggakan. Amerika melakukan kebijakan antidumping terhadap produk udang kepada China, Thailand dan Vietnam saat itu.
“Pebisnis Indonesia menamakan produk udang asal negara tersebut dinamakan dokumen Indonesia, origin dari Indonesia. Harus kita ingat bahwa Amerika sempat embargo Indonesia,” tandas Susi.
Ketika itu, sambungnya, China seharusnya dikenakan pajak 110 persen, ada juga yang 60 persen. Malah, Indonesia hanya 12 sampai 20-an persennya maksimum terhadap produk Indonesia.
“Seharusnya, saat itu kita segera membangun pertambakan, baik yang tradisional maupun intensif. Bukan malah menjual barang orang yang kena antidumping. Jangan salah, di Amerika pun asosiasi shrimp farm-nya kuat sekali. Antidumping itu merupakan usulan mereka untuk memproteksi industri competitiveness mereka,” jelas Susi.
Ia menegaskan,”Saya tidak mau mendengar selama saya memimpin KKP, ada pengusaha Indonesia yang berbuat seperti itu.”
“Kalau waktu itu kita tidak proaktif berkomunikasi atau jelek komunikasinya bisa diembargo produk kita, habislah kita. Jadi, jangan coba-coba memanfaatkannya,” imbuh Susi.
Sekarang ini, lanjutnya, ikan pun bisa di tes DNA-nya.
“Saya menang melawan illegal fishing dengan satu kapal berisi 3000 ton ikan. Setelah dicek DNA-nya ternyata itu ikan Indonesia,” tuturnya.
Susi berharap,”Apa yang terjadi trade war ini membangkitkan industri kita. Jangan kita bangkitkan industri di negeri orang.”
Baca juga: Indonesia produsen perikanan budidaya terbesar dunia
Baca juga: KKP: udang Indonesia nomor satu di AS
Baca juga: Satu juta ton ikan per tahun dicuri kapal asing
Pewarta: Anggarini Paramita
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2018