Jakarta (ANTARA News) - Sebagian besar masyarakat Indonesia hingga saat ini masih memiliki pengetahuan yang rendah terhadap HIV/AIDS sehingga membuat stigma negatif terhadap orang yang hidup dengan penyakit tersebut.Di media, atau di sosial media, kalau ada satu kejadian saja stigma terhadap ODHA, jadi terus berulang-ulang,
Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) masih mendapatakan diskriminasi di kalangan masyarakat, mulai dari lingkungan terkecil yaitu keluarga, hingga masyarakat yang lebih luas.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 hanya satu persen masyarakat yang memiliki pengetahuan tentang HIV secara keseluruhan mulai dari pengetahuan umum, cara penularan dan pencegahannya, serta cara pemeriksaannya.
Sekitar 31,8 persen mengetahui sebagian, 65,2 persen hanya mendapatkan informasi yang tidak lengkap tentang HIV, 2 persen tidak memiliki pengetahuan tentang HIV Aids.
Ketidaktahuan tentang HIV/AIDS, terlebih pada ketidakpahaman cara penularannya, menciptakan stigma negatif terhadap penyakit tersebut yang kemudian menghasilkan diskriminasi terhadap ODHA.
Yang paling terbaru ialah kejadian penolakan sekolah terhadap tiga anak ODHA yang terjadi beberapa waktu lalu di Samosir Sumatera Utara.
Pada Oktober lalu dikabarkan tiga anak dengan ODHA ditolak di sejumlah sekolah di Kabupaten Samosir karena orang tua murid lainnya khawatir tertular kepada anak lain.
Padahal HIV tidak mudah menular dan medium penularannya terbatas. Penularan HIV hanya terjadi dengan tiga cara, yaitu hubungan seksual, pertukaran atau kontaminasi darah seperti dalam penggunaan jarum suntik bersamaan, dan secara vertikal yang diturunkan dari ibu kepada anak.
Perlu diketahui oleh masyarakat bahwa HIV tidak menular melalui bertukar pakaian, bersalaman atau bersentuhan, menggunakan toilet bergantian, tinggal serumah dengan orang yang terinfeksi, berbagi makanan dan minuman, gigitan nyamuk atau serangga, atau lewat ciuman.
Orang dengan HIV/AIDS sangat bisa hidup berdampingan dengan orang sehat dan tak memengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari. Bahkan ODHA bisa hidup lama dan normal seperti orang sehat asalkan disiplin meminum obat dan kontrol setiap bulan dan setahun sekali.
Intinya, kehidupan ODHA sama saja dengan kehidupan orang normal. Yang membedakan hanya harus minum obat antiretroviral (ARV) setiap hari, sama halnya dengan penyakit lain yang juga minum obat seumur hidup seperti diabetes atau kanker.
Stigma Mengakar
Pakar hematologi Prof Zubairi Djoerban SpPD, KHOM menilai ketidakpahaman masyarakat terhadap bagaimana proses penularan HIV/AIDS adalah sebab dari munculnya stigma.
Stigma negatif begitu mengakar dan memunculkan diskriminasi yang parah pada ODHA. Bahkan seorang yang diduga positif HIV saja, lantaran kesalahan pemeriksaan yang menyebutnya positif namun sebenarnya negatif, sudah mendapatkan diskriminasi dari masyarakat dengan mendapatkan penolakan-penolakan.
Aktivis Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Ayu Oktariani menyebutkan stigma negatif yang sudah mengakar di masyarakat ini pula lah yang bahkan membuat seseorang yang positif terinfeksi HIV menstigma dirinya sendiri.
Tidak sedikit orang yang bungkam dan mengurung diri ketika mengetahui dirinya terinfeksi HIV. "Sekarang bagaimana kalau kita mau mengaku, kalau saya ngomong HIV keras-keras saja stigmanya kenceng banget," kata dia.
Ayu pun mengaku butuh waktu dua tahun setelah mengetahui dirinya terinfeksi HIV hingga ia bisa hidup normal dengan berani berbicara pada orang lain bahwa dirinya ODHA.
Peran Media
Orang yang hidup dengan HIV/AIDS butuh wajah. Yaitu wajah baru yang menunjukkan bahwa ODHA bisa hidup normal dan tanpa menularkan penyakitnya ke orang lain.
Ayu yang telah terinfeksi HIV sejak sembilan tahun lalu mengaku bahwa dirinya malah melabelkan secara sengaja bahwa dirinya adalah ODHA, dan itu baik-baik saja.
Dia sengaja membuat blog pribadi yang mengisahkan hidupnya baik-baik saja sebagai ODHA. Ayu meyakini, media sangat berperan dalam mengubah stigma yang ada di masyarakat terhadap HIV/AIDS.
Berbagai jenis media massa bisa mengubah stigma tentang HIV/AIDS menjadi lebih positif, atau bahkan sebaliknya yaitu memperburuk stigma hingga diskriminasi makin luas terjadi.
"Di media, atau di sosial media, kalau ada satu kejadian saja stigma terhadap ODHA, jadi terus berulang-ulang," kata mantan menteri kesehatan yang juga Ketua Dewan Pembina Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat Nafsiah Mboi.
Media dengan jurnalis yang tidak memiliki pemahaman tentang HIV/AIDS berikut cara penularannya malah akan menambah ketakutan di masyarakat yang tidak cukup memiliki pengetahuan terhadap penyakit tersebut.
Dia meminta agar media tidak hanya memberitakan tentang kejadian diskriminasi terhadap ODHA di suatu daerah, atau peningkatan jumlah orang yang terinfeksi, tanpa menginformasikan cara penularan virus HIV secara benar.
Baca juga: Mitos versus fakta seputar AIDS
Baca juga: Siapa yang rentan tertular HIV/AIDS?
Oleh Aditya Ramadhan
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2018