Tidak heran jika kuliner ini bisa ditemukan di ratusan bahkan mungkin ribuan Rumah Makan Padang yang tersebar pada 34 provinsi di Indonesia, dari Sabang hingga Jayapura.
Tidak jarang, pemilik Rumah Makan Padang itu ternyata bukan orang Sumbar, tetapi warga setempat yang pernah bekerja di rumah makan atau warung nasi Padang. Setelah tahu resep randang, mereka membuka warung sendiri.
Secara internasional, Kementerian Pariwisata juga telah mem-branding 100 restoran lndonesia milik diaspora dari mancanegara yang menjadi mitra co-branding Wonderful Indonesia. Sebanyak 90 persen dari restoran yang tersebar di berbagai negara itu menyediakan kuliner khas Minang yaitu randang.
Meski sudah meng-internasional, namun soal cita rasa, randang Padang punya rahasia kecil yang tidak diketahui oleh semua orang yang menjual kuliner tersebut. Rahasia itu adalah cita rasa.
Selalu ada cita rasa berbeda antara randang yang dibuat di Ranah Minang dengan randang yang dibuat di luar daerah itu. Bahkan, jika Orang Padang yang membuat kuliner terenak di dunia itu tetapi dilakukan di luar Sumbar, akan tetap ada perbedaan rasa dengan randang yang dibuat di kampung halaman.
Ini bukan mistik-mistikan yang mengatakan Sumbar itu punya kekuatan gaib, atau hal-hal semacamnya, sehingga randang yang dibuat di luar provinsi itu rasanya tiba-tiba saja berubah.
Tidak, ini hanya soal bahan dasar dan bumbu yang berasal asli dari Ranah Minang. Rasa cabai, jahe, lengkuas, kelapa, buah pala, daun kunyit, serai, daun limau, daun salam dan beberapa bumbu lain yang tumbuh di Sumbar memang berbeda dengan daerah lain.
Cabai misalnya, Orang Padang biasanya lebih memilih produksi lokal dibanding cabai Jawa yang banyak di pasar. Rasa cabai lokal itu lebih pas rasanya untuk randang.
Santan kelapa juga demikian. Cobalah menggunakan santan pabrikan siap pakai yang banyak dijual di mini market itu. Rasanya akan sangat jauh meleset dari rasa randang asli, malah bisa gagal jadi randang.
Begitulah sedikit rahasia randang Padang. Cita rasanya amat bergantung pada asal bahan dan bumbunya. Maka jangan heran jika melihat rumah makan Padang di berbagai pelosok negeri di Indonesia, "mengimpor" bahan dan bumbu dasarnya langsung dari Sumbar. Itu adalah upaya untuk mempertahankan rasa asli dari kuliner tersebut.
Maka tak perlu heran pula jika Gubernur Sumbar Irwan Prayitno mempersilahkan investor untuk membuat industri randang dimana saja, di luar provinsi tersebut. Itu karena ia yakin cita rasa randang Padang asli, hanya bisa didapatkan di Ranah Minang.
Jadi kalau ingin merasakan cita rasa asli dari kuliner itu, ya harus main ke Padang.
Itu pula mungkin yang menyebabkan pakar kuliner William Wongso selalu membawa bumbu-bumbu khas Indonesia jika pergi ke luar negeri. Untuk promosi kuliner Indonesia, harus mempertahankan cita rasanya. Ya, cita rasa itu salah satunya memang bergantung pada dari mana bumbu tersebut berasal.
Tapi, bukan berarti randang yang dibuat dengan bumbu lain rasanya tidak enak. Rasa randang, bagaimanapun akan tetap menggugah selera. Dagingnya yang empuk dan lembut sebagai hasil dari karamelisasi proses memasak yang panjang, rasa pedas manis yang gurih dan aroma bumbu yang menyatu, tidak akan mengecewakan lidah siapapun.
Buktinya selama empat tahun berturut-turut sejak 2015, randang dinobatkan menjadi salah satu makanan terenak di dunia oleh CNN, padahal belum tentu bahan dan bumbunya berasal dari Sumbar.
Hanya, ya, itu, ini tentang cita rasa asli-nya.
Persoalan cita rasa randang itu menjadi salah satu pertimbangan Wali Kota Payakumbuh Riza Falepi dalam mengembangkan branding daerahnya sebagai Kota Randang.
Ia menginginkan cita rasa asli randang itu bisa dinikmati di mana saja di belahan dunia dan ia tahu solusi untuk hal tersebut adalah teknologi.
Teknologi itu akhirnya berhasil ditemukan di Jerman, bernama retouch. Alat itu bisa menjaga kualitas randang, baik dari kualitas rasa hingga kemasan modern agar bisa diterima masyarakat Internasional.
Kabid Humas Pemkot Payakumbuh, Irwan Suwandi menuturkan pengadaan alat itu dilakukan pada 2019 dan bisa langsung diterapkan untuk pengembangan reandang hingga bisa menjadi salah satu komoditas ekspor unggulan dari daerahnya.
Randang yang akan diekspor itu bakal dikemas dalam bentuk sachet dengan teknologi retouch sehingga keaslian rasanya bisa terjaga dalam waktu yang lama, hingga 1-1,5 tahun.
Dengan daya tahan yang super lama tanpa mengubah rasa itu, dalam lima tahun ke depan, mungkin saja, randang Padang dengan cita rasa asli bisa ditemukan di Timur Tengah, Afrika, Eropa, Amerika dan Australia.
Target pasar randang Payakumbuh memang Timur Tengah, terutama pada bulan haji.
Namun untuk ekspor, tentunya masih ada persoalan lain yang segera harus dipecahkan, yaitu standar kualitas untuk semua komponen seperti bahan, bumbu, cara memasak hingga kemasan.
Satu saja komponen itu yang tidak sesuai dengan standar, rasanya akan berbeda. Sebagai komoditas ekspor hal itu tentu tidak bisa diterima.
Persoalannya saat ini seluruh usaha randang yang ada di Sumbar masih dalam skala UMKM dengan resep dan cara memasak berbeda untuk masing-masing usaha.
Resep dan cara memasak itu rata-rata adalah milik keluarga atau kaum (suku) yang dirahasiakan dari pihak lain sehingga terciptalah amat banyak varian randang itu, sekitar 400 jenis.
Namun untuk masuk ke pasar modern dalam negeri seperti trans mart, randang hasil produksi UMKM itu sudah lebih dari memadai asalkan memiliki kemasan yang menarik dan bisa mempertahankan cita rasa asli.
Jadi, soal cita rasa asli randang itu, sudah ada teknologi penyelamatnya. Tetapi kalau ingin merasakan cita rasa asli randang dengan iringan seni budaya dan keindahan alamnya, tentu harus tetap datang ke Ranah Minang.*
Baca juga: Lambungan asa pebisnis rendang lokal
Baca juga: Marandang satukan perbedaan
Baca juga: Kemenparbud nyatakan rendang masih populer di dunia
Pewarta: Miko Elfisha
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018