Politik uang dinilai seperti `hantu`

8 Desember 2018 16:46 WIB
Politik uang dinilai seperti `hantu`
Mahasiswa melakukan teatrikal ketika menggelar aksi Lawan Politik Uang di Jalan Urip Sumoharjo Solo, Jawa Tengah, Selasa (26/6/2018). Mereka mengajak warga menolak praktik politik uang untuk membeli hak pilih dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada Rabu (27/6/2018). (ANTARA FOTO/Maulana Surya)
Palu, Sulawesi Tengah (ANTARA News) - Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Tadulako Palu, Sulawesi Tengah, Dr Irwan Waris mengemukakan praktek politik uang (money politik) merupakan tindakan seperti `hantu`.

"Bahaya politik uang. Politik uang ini seperti hantu, bahkan bisa lebih hebat dari hantu. Saya tidak pernah melihat hantu, cuman mendengarnya. Tidak sering kali melihat praktek politik uang, cuman mendengarnya dan sulit dibuktikan," ucap Irwan Waris di Palu, Sabtu.

Pakar Ilmu Politik Untad Palu itu mengaku bahwa dirinya telah melakukan penelitian terhadap praktek dan bahaya politik uang selama dua tahun.

Penelitian itu dilakukan di tahun 2016 dan tahun 2017. Irwan menjadikan tiga daerah sebagai sampel dalam penelitiannya yaitu Kota Palu, Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong.

Masyarakat kita, sebut dia, memahami dan mengetahui tentang bahaya politik uang termasuk melakukan hal itu.

Anehnya, tegas dia, hingga saat ini tidak ada satu-pun pihak yang melakukan praktek politik uang dapat diseret ke ranah hukum.

"Tapi tidak ada satu-pun yang bisa diseret, menjadi pelanggaran pemilu," sebut Irwan Waris.

Direktur Pusat Studi Pemilu dan Partai Politik Untad Palu itu mengemukakan, berdasarkan hasil penelitiannya bahwa masyarakat cenderung bersikap `permisif` terhadap kegiatan atau praktek uang dalam pemilu yakni ada anggapan bahwa praktek politik uang merupakan sesuatu yang lumrah.

"Ada kebiasaan di masyarakat bahwa, ketika ada politisi yang datang terus tidak membawa atau memberi sesuatu, maka dianggap tidak biasa, bahkan dianggap pelit oleh masyarakat," urai Irwan Waris.

Ia menjelaskan anggapan dan kebiasaan itu, ternyata ada sejarahnya. Karena masyarakat kita adalah masyarakat `parton klien` yang melahirkan budaya paternalistik.

"Pada zaman dahulu, zaman kerajaan, pemimpin memberi sesuatu kepada masyarakat, dan masyarakat membalasnya dengan loyalitas," kata dia.

Budaya seperti itulah yang terjadi saat ini dalam dunia perpolitikan termasuk di pemilu.

Namun ada perbedaan, di zaman dahulu pemimpin yang menggerakkan masyarakat dengan kemampuan ekonomi, mereka itu adalah orang yang baik, jujur, adil, yang dapat dipercaya. sehingga masyarakat loyal.

Kalau sekarang mereka yang memberi uang kepada rakyat, akan tetapi tidak diketahui uangnya darimana.

"Banyak dari mereka ini adalah `bandit`, yang berusaha masuk dalam ranah kekuasaan. Lalu ketika mereka berkuasa mereka menyalahgunakan kekuasaannya," katanya.

Ia menyebut, hampir setiap hari KPK menangkap kepala daerah, bahkan tangkap tangan.

Hal itu, menurut dia, menujukkan bahwa banyak diantara para pemimpin ialah orang-orang yang `tidak benar`.

Dr Irwan Waris sehari sebelumnya dihadirkan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sulawesi Tengah untuk menjadi salah satu pembicara pada sosialisasi peraturan Bawaslu tentang kampanye pemilu 2019.

Selain Irwan Waris, Ketua Bawaslu Sulteng Ruslan Husein juga menjadi narasumber pada sosialisasi itu, yang pesertanya berasal dari partai politik, calon perseorangan, media dan jajaran Bawaslu hingga tingkat kecamatan.

Baca juga: Politik uang sumber masalah demokrasi Indonesia
Baca juga: Bawaslu Tanjungpinang galang RT cegah politik uang

Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018