Mereka dilibatkan dalam kehidupan politik Obama sebagai bagian dari supporter yang tak terpisahkan.
Maka terciptalah citra "relationship goal" ala Obama yang nyatanya laris manis dan mendongkrak publikasi profilnya sebagai "familyman" berkeluarga harmonis.
Sosok seorang suami yang tergila-gila pada istrinya, bersih dari affair, hingga seorang bapak yang mengayomi anak-anaknya bisa menjadi cara terbaik untuk meyakinkan publik bahwa dialah pemimpin yang hebat.
Cara yang sama barangkali yang ingin diterapkan oleh Jokowi di Indonesia.
Entah merupakan hasil dari konsultasi kepada konsultan brandingnya atau inisiatif sendiri, cara Jokowi memperkenalkan keluarganya kepada publik benar-benar mengingatkan pada gaya Obama.
Jokowi tampak ingin memperlihatkan betapa urusan keluarga merupakan hal yang bukan masalah besar baginya.
Betapa ia mampu membangun keluarganya dalam konsep keluarga ideal dambaan semua orang.
Pria berdarah Solo itu tak segan membawa serta semua anggota keluarganya di depan kamera bahkan kini sang istri, Iriana Joko Widodo, yang pada awal kemunculannya terlihat canggung pada media terlihat semakin rileks menjawab pertanyaan wartawan.
Jokowi memproklamirkan bahwa ia telah memiliki semuanya, cucu perempuan sudah, cucu laki-laki sudah, hingga usaha semua anaknya kini bisa membanggakannya.
Barangkali ia ingin menyuguhkan kepada publik pada pilihan tentang sosok yang sempurna dalam membangun keluarga.
Sebab sementara orang percaya mereka yang sukses dalam membina keluarganya punya kecenderungan lebih meyakinkan untuk menjadi seorang pemimpin.
Pencuri panggung
Jan Ethes "stole the show" menjadi konsep yang selalu muncul dalam berbagai kesempatan entah disengaja atau tidak.
Kemunculan balita cucu presiden yang menggemaskan kontras dengan kesan keluarga "untauchable" yang pernah dibangun keluarga presiden pada masa lampau.
Bocah yang lahir 10 Maret 2016 itu menjadi daya tarik tersendiri yang menonjol dari keluarga Jokowi.
Kesan keluarga sealamiah mungkin muncul dari kepolosan wajahnya yang dibiarkan berlari ke sana ke mari bermain dengan microphone dan tak pernah coba dijauhkan atau didekatkan dari jangkauan kamera media.
Sementara di media sosial, Jokowi membiarkan dua putranya, Gibran dan Kaesang bermanuver dengan caranya masing-masing.
Gaya dan logat yang "kampungan" bahkan dikedepankan oleh keduanya hingga tercipta kesan bahwa mereka benar-benar keluarga yang apa adanya.
Jokowi menyebut kedua putranya baik Kaesang maupun Gibran sama sekali belum memiliki "feeling" untuk terjun ke dunia politik.
Hingga tak menjadi beban bagi keduanya untuk bermanuver dalam media sosial dan betapa masyarakat dengan mudah memisahkan mereka dari kehidupan politik sang ayah.
Politik baik bagi Gibran maupun Kaesang tampak seperti bahan parodi menggelikan dan mengundang tawa yang mereka ciptakan di akun media sosialnya.
Pengamat politik Arif Amaruddin berpendapat cara dan pendekatan keluarga Jokowi dalam mendapatkan perhatian publik semakin matang seiring berjalannya waktu.
Menurut alumnus UIN itu keluarga Jokowi semakin menyadari posisi mereka sebagai pendukung karier politik bagi kepala keluarga sehingga masing-masing memberikan peran sesuai porsinya.
Tidak kurang juga tidak lebih sehingga takarannya pas dan tidak berlebihan termasuk apa yang sudah dilakukan Iriana.
Versus Trump
Cara Jokowi dalam menarik minat massa dengan mencitrakan keluarganya yang harmonis sungguh kontras dengan politik mencapai kekuasaan ala Donald Trump.
Dengan semboyan "Make America Great Again" Trump memunculkan simbol imperium yang kuat.
Hal serupa tampak menjadi strategi yang ingin diterapkan lawan politik Jokowi, Prabowo Subianto.
Dengan slogan Make Indonesia Great Again, tampaknya strategi politik yang digunakan Prabowo memiliki kesamaan dengan Trump.
Prabowo kian masif menebarkan cara-cara layaknya yang Trump pernah lakukan yakni dengan meyakinkan publik bahwa pemerintahan bisa lebih baik dan lebih kuat di tangannya kelak.
Bahkan Prabowo tak segan membuat pernyataan kontroversi layaknya yang pernah Trump lakukan.
Tak ayal hal itu kian memancing reaksi publik termasuk media, pengamat, hingga masyarakat luas. Hasilnya, sebagaimana yang Trump peroleh ketika itu kepopuleran yang kian meroket.
Bagi Trump, jika pernyataannya semakin kontroversial dan menarik perhatian maka berarti itu kian meyakinkan pendukungnya bahwa dirinya adalah pemimpin yang tegas, tidak peduli apa kata lawan politiknya, otentik meskipun tidak orisinil, dan gagah berani.
Sebagaimana Prabowo, pun senada yang dilakukan cawapresnya, Sandiaga Uno yang kerap membuat peristilahan yang kontroversi sekaligus fenomenal seperti tempe setipis kartu ATM.
Penggagas Gerakan Damai Nusantara Jappy M Pellokila mengatakan citra-citra yang dibentuk oleh calon presiden menjadi bentuk kampanye yang cenderung memunculkan pemilih yang memilih hanya karena emosi politik, ikut-ikutan, sekadar mengikuti arus, atau bahkan lantaran provokasi politik.
Selain juga terbuka kemungkinan adanya politik uang yang bakal terjadi.
Jappy juga menilai pada kondisi saat ini berkembang kecenderungan bahwa kampanye yang tidak lazim justru yang potensial menarik pendukung atau calon pemilih.
Publik pun kini dihadapkan pada pilihan untuk memilih calon pemimpin mereka.
Kembali lagi pada bahwa segala sesuatu termasuk branding politik pun semata bukan persoalan selera tapi lebih pada era.
Sebab masing-masing orang di setiap era pastilah berbeda selera. Jadi hanya waktu yang akan menjawab segalanya.
Baca juga: Kampanye sportif, tim Jokowi-Ma'ruf serukan adu gagasan
Baca juga: TKN Jokowi-Ma'ruf komitmen bangun kampanye kreatif
Oleh Hanni Sofia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018