Jakarta, (ANTARA News) - Asian Games 2018 sudah berlalu sejak tiga bulan lalu, tapi sisa-sisa kemeriahan, kenangan, cerita sukses dan romantisme lainnya masih belum hilang di benak banyak orang."Kita tidak bisa memperlakukan mantan atlet seperti habis manis sepah dibuang..."
Mereka yang terlibat langsung maupun tidak langsung akan sulit untuk melupakan begitu saja event terbesar kedua di seluruh jagat setelah Olimpiade ini.
Sudah tidak terhitung puja-puji yang disampaikan kepada atlet yang berprestasi, pihak panitia penyelenggara, termasuk volunteer yang membuat Asian Games disebut-sebut sebagai peristiwa olahraga paling sukses dan meriah sepanjang sejarah.
Sampai sekarang di hampir di seluruh pelosok Tanah Air, poster-poster yang berhubungan dengan Asian Games masih menghiasi berbagai gedung, kendaraan umum dan tempat lain.
Pesta memang sudah usah, atlet dan pelatih kembali ke daerah masing-masing dan menjalani rutinitas seperti sebelumnya.
Lalu ada pertanyaan yang tersisa, "apakah masa depan atlet Indonesia sudah terjamin?"
Pertanyaan tersebut menjadi judul pada urun rembug para pemangku kepentingan (stake holder) olahraga Indonesia yang diselenggarakan oleh Komunitas Olahraga Indonesia (KORI) di salah satu ruangan di Stadion Gelora Bung Karno Senayan Jakarta, Senin (10/12).
Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Erick Thohir yang hadir sebagai pembicara utama mengawali dialog dengan mengutip curhat atlet yang sempat terbentur saat mengajukan pinjaman ke bank ketika mengisi kolom aplikasi pekerjaan dengan kata "atlet".
Pihak petugas bank meminta sang atlet untuk tidak menulis kata "atlet" dan menggantinya dengan pekerjaan lain agar pengajukan kredit disetujui.
"Apakah mereka harus ganti pekerjaan mereka menjadi pengusaha?," kata Erick yang seorang pengusaha dan juga Ketua INASGOC itu.
Apa yang dialami atlet tersebut merupakan sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa menjadi atlet di Indonesia, setidaknya sebelum Asian Games 2018, adalah sebuah profesi yang dianggap tidak menjanjikan masa depan lebih baik.
"Kita tidak bisa memperlakukan mantan atlet seperti habis manis sepah dibuang," katanya menegaskan.
Sebagai seorang pengusaha, Erick yang pernah memiliki klub raksasa Liga Italia Seri A Inter Milan dan klub basket NBA Philadelpia 76ers itu, menegaskan bahwa semua pihak harus menjaga setiap saat momentum keberhasilan Asian Games 2018.
Untuk menjaga agar sukses Asian Games 2018 tidak lewat begitu saja dan sekaligus menjadi atlet sebagai pemain utama, bukan sebagai objek, Erick mengusulkan kepada pemerintah agar anggaran untuk olahraga menggunakan pola multi years.
"Sistem penganggaran pemerintah saat ini membuat pembinaan olahraga tidak masuk akal. Bagaimana mungkin mempersiapkan atlet dan tim nasional hanya dalam enam bulan?", katanya.
Tidak menentunya nasib atlet, terutama setelah mereka pensiun yang membuat legenda bulutangkis Sussy Susanti secara terus terang mengakui bahwa ia melarang putrinya mengikuti jejaknya sebagai atlet.
"Memang betul saya larang karena masa depan atlet tidak ada jaminan. Jaman saya jadi atlet hanya pengabdian dan penghargaan yang saya dapatkan umumnya adalah ucapan terima kasih dan piagam penghargaan," kata Sussy yang juga hadir sebagai sebagai salah nara sumber.
"Sekarang perhatian pemerintah sudah bagus. Bonus peraih medali emas di Olimpiade Rio 2016 berjumlah Rp5 miliar. Sayang saya terlalu cepat jadi atlet," katanya sambil berseloroh.
Mengubah paradigma
Dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak euforia sukses Asian Games 2018, paradigma masyarakat mengenai profesi atlet mulai berubah. Guyuran bonus Rp1,5 miliar bagi peraih medali emas, ditambah penghasilan sebagai bintang iklan, membuat banyak anak muda yang mulai melirik olahraga sebagai profesi.
Kalau pun ada atlet berprestasi yang kemudian hidupnya terlunta-lunta setelah sebelumnya bergelimang uang dan kemasyuran, umumnya adalah karena ketidak mampuan mengelola keuangan.
"90 persen pemain basket NBA bangkrut karena mereka tidak bisa mengelola keuangan mereka dengan baik saat masih aktif," kata Erick Thohir.
Untuk menjami kehidupan atlet, anggota Komisi X DPR RI Noor Achmad berjanji bahwa pihaknnya akan berusaha membuat undang-undang agar atlet berprestasi yang telah mengharumnkan nama negara di event internasional mendapatkan gaji bulanan.
"Perlu diatur dan diusahakan agar atlet berprestasi atau yang mengikuti pemusatan latihan mendapatkan gaji bulanan sehingga profesi mereka diakui. Tapi anggaran Kemenpora kecil sehingga tidak bisa mendukung program tersebut secara maksimal," kata politisi asal Partai Golkar itu.
Tapi sebelum menjadi atlet berpretasi yang kemudian beruntung mendapat guyuran bonus, baik dari pemerintah maupun pemerintah daerah, tidak jarang seorang atlet harus melalui perjuangan yang berat dan berliku.
Tidak ada jalan pintas untuk meraih prestasi dan sebagaimana profesi lainnya, semua harus dijalani melalui kerja keras dan pengorbanan yang tidak sedikit.
Seperti yang diakui atlet jujitsu putri Simone Julia, ia harus menguras tabungannya untuk berlatih agar bisa menjadi atlet Asian Games 2018.
Tapi prestasi bagus saja tidak cukup karena masih banyak faktor lain ikut berpengaruh dan atlet blasteran Kanada-Indonesia melihat masih ada praktek-praktek yang tidak jujur dalam seleksi, yaitu atlet titipan.
Meski tidak secara rinci menjelaskan pihak-pihak yang menitipkan atlet ke dalam tim nasional, Simone dalam bahasa Indonesia yang belum lancar menegaskan bahwa praktek-praktek seperti itu jelas merugikan mereka yang lebih berprestasi.
(A032)
Baca juga: Pemerintah terus jamin masa depan atlet berprestasi
Baca juga: Menpora gagas lembaga tangani masa depan atlet
Pewarta: Atman Ahdiat
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018