Padang, (ANTARA News) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Barat (Sumbar) menyatakan, musibah banjir dan longsor yang terjadi pada beberapa daerah di wilayah tersebut dalam sepekan terakhir ini dipicu buruknya pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS).Di beberapa wilayah yang mengalami banjir seperti Nagari Guguak, Kecamatan Kayu Tanam, Limapuluh Kota, Pesisir Selatan dan Kota Padang memiliki topografis yang terjal dengan aliran sungai yang pendek
"Dari analisa Walhi Sumbar di beberapa wilayah yang mengalami banjir seperti Nagari Guguak, Kecamatan Kayu Tanam, Limapuluh Kota, Pesisir Selatan dan Kota Padang memiliki topografis yang terjal dengan aliran sungai yang pendek," kata Direktur Eksekutif Walhi Sumbar, Uslaini, di Padang, Minggu.
Menurutnya, topografis seperti ini menyebabkan aliran air yang cenderung tajam dan menghantam bila curah hujan tinggi.
Selain itu, DAS di lokasi kejadian banjir juga terancam dan kritis.
"Ini bisa dibuktikan dari data deforestasi hutan dari Dinas Kehutanan Sumbar bahwa hutan daerah ini telah mengalami deforestasi dan degradasi dari 1999 hingga 2016 seluas 7.900 hektare atau setara dengan tiga kali luas Kota Bukittinggi," ujar Uslaini.
Ia menilai, deforestasi tersebut terjadi akibat pembangunan dalam sektor legal dan ilegal. Sektor legal alih fungsi lahan misalnya, dalam pemberian izin tambang dalam kawasan hutan dan hulu sungai juga mengancam ekosistem sungai dan kondisi hutan.
Selain itu, pemberian izin oleh pemerintah dalam sektor kehutanan seperti IUPHH-HA dan Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mengakibatkan konversi hutan primer menjadi sekunder, bahkan menjadi nonhutan sehingga merusak ekosistem DAS dan menyebabkan longsor dan banjir
Walhi menilai jika alih fungsi lahan ini tidak dikendalikan dan fungsi hutan tidak dipertahankan, maka kejadian banjir akan terus terjadi setiap musim penghujan.
Pemerintah, kata Uslaini, seharusnya mampu mengelola secara komperhensif dalam pengelolaan DAS secara terpadu sehingga fungsi hutan pada areal hulu DAS dapat menjadi upaya mitigasi bencana longsor dan banjir ketika intensitas hujan tinggi.
Selain faktor cuaca, Walhi juga menyorot soal beban kendaraan yang melebihi tonase jalan sehingga memicu bencana terutama di jalur Padang-Solok di Sitinjau Lauik yang ramai dilewati kendaraan membawa CPO dan batu bara.
"Getaran truk-truk besar itu memicu retakan di tebing jalan, namun tidak ada upaya penguatan tebing, sehingga saat hujan, air akan masuk ke retakan-retakan yang ada di sepanjang tebing dan memicu longsor, sebaiknya evaluasi kelas jalan dan jenis kendaraan serta beban kendaraan yang melewati jalur tersebut," katanya.
Sebelumnya sebanyak 16 DAS dipulihkan kondisinya oleh Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai dan Lingkungan Hidup Agam Kuantan karena kondisinya yang kritis.
"Penyebab DAS kritis itu ada macam-macam, baik karena faktor manusia hingga kondisi iklim", kata Kepala Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai dan Lingkungan Hidup Agam Kuantan, Nursida.
Menurut dia, dari 386 DAS yang dikelola kondisinya secara umum pendek dan topografi curam serta curah hujan tinggi sehingga berpotensi banjir dan longsor.
Karena DAS pendek kalau pengelolaannya tidak berbasis lingkungan, katanya, maka rentan terhadap longsor dan banjir.
Ia mengemukakan, sebagian besar penyebab kritis DAS adalah faktor manusia seperti membuka lahan di hulu hingga lereng tanpa terasering.
Nursida berharap masyarakat berpartisipasi aktif dalam pengelolaan DAS dan menjaga lingkungan supaya tidak rusak.
"Itu bisa dimulai dari tidak membuang sampah ke sungai, menanam pohon di daerah yang masih terbuka dan tidak menebang hutan sembarangan apalagi di kawasan hutan lindung," katanya.
Baca juga: Daya Dukung Lingkungan Sumbar Turun Drastis
Baca juga: Walhi Sumbar: Pemerintah Tidak Serius Sikapi Kerusakan Lingkungan
Pewarta: Ikhwan Wahyudi
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2018