"Saya pragmatis saja. Kalau secara politik itu ada ini bisa membatasi perkembangan komoditas yang lain masuk wilayah adat. Karena yang lain itu sudah dicadangkan tapi yang ini (hutan adat) kok enggak," ujar Hariadi usai menjadi penanggap pada acara Tinjauan Kehutanan Akhir Tahun yang digelar Yayasan KEHATI di Jakarta, Selasa.
Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) yang dimiliki Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menurut dia, belum termasuk Hutan Adat (HA), baru Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan. Padahal Hutan Adat itu spesifik.
PIAPS sendiri kalau untuk HKm dan lainnya tidak boleh di kawasan konservasi. Sementara, ia mengatakan Hutan Adat banyak sekali ada di dalam kawasan konservasi.
Pada evaluasi terakhir ada 1,3 juta hektare (ha) Hutan Adat yang ada di kawasan konservasi. Pada diskusi terakhir Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem (KSDAE) Wiratno sudah sepakat untuk membuat Peta Indikatif Hutan Adat yang ada di dalam kawasan konservasi.
"Maksud saya begini, karena menetapkan seperti ini kan lama, masih dibahas lagi dengan macam-macam kepentingan. Mana Undang-Undangnya (UU Masyarakat Adat) juga tidak jadi-jadi, segala macam. Kalau ada peta itu setidaknya di lapangan bisa menghindari berbagai macam penggunaan yang lain," ujar dia.
Jadi hutan adatnya disimpan dulu, nanti proses legalnya, ketemu subyek dan obyeknya belakangan saja. Karena yang lain, menurut dia, juga begitu, dicadangkan tapi belum ada izinnya juga.
Ia mencontohkan Hutan Produksi yang dideliniasi untuk calon Hutan Tanaman Industri walaupun belum ada perusahaan yang mengajukan sebenarnya. "Kenapa kok hutan adat tidak dibegitukan juga?"
Hal ini untuk kesetaraan akses pemanfaatan hutan bagi masyarakat. Nantinya, status indikatif tersebut ia mengatakan harus segara diproses hingga menjadi definitif sehingga resmi menjadi hutan adat.
Kapasitas Pemerintah untuk menyelesaikan peta indikatif hutan adat terbatas. Kalaupun ada pihak ketiga seperti Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) atau pendamping lainnya yang bisa menghasilkan peta hutan adat, seperti juga misalnya teman-teman yang mengajukan revisi peta Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) yang sekarang ini siapapun juga yang memiliki peta kondisi di lapangan bisa disampaikan ke Dirjen Planologi untuk direvisi petanya.
"Begitu pula seharusnya dilakukan untuk hutan adat," ujar dia.
Jadi Ditjen Planologi, menurut dia, bisa menerima usulan-usulan para pendamping mengenai hutan adat lalu dijadikan peta indikatif yang setiap enam bulan atau jangka waktu lainnya bisa direvisi.
Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mengatakan Peta Indikatif Alokasi Hutan Adat sudah pernah diusulkan ke KLHK. Begitu pula masalah pencadangan Hutan Adat juga sudah dibicarakan sejak 2017, tapi sampai sekarang masih terus menjadi wacana.
Ada Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan Hutan Adat yang akan berakhir 31 Desember 2018, namun sampai saat ini Rukka mengatakan belum juga kelihatan percepatan yang dimaksud, malah justru cenderung tersendat.
Baca juga: 6.324 hektare Hutan Adat sudah berstatus hukum
Baca juga: Lima kabupaten di Papua siapkan pengajuan 600.000 ha hutan adat
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018