Masjid tersebut kini menjadi posko dadakan untuk mengumpulkan bantuan, dimana tampak tumpukan ratusan kardus dan karung logistik di halaman depan maupun di teras sampingnya. Tempat yang juga menjadi lokasi hari pertama warga menjalankan ibadah shalat Jumat (28/12) usai terjangan tsunami.
Ratusan sandal jepit maupun sepatu milik korban bencana tsunami maupun relawan atau Satgas terlihat berjajar di atas lantai yang bertulikan "batas alas kaki".
Air keran tempat pengambilan wudhu terus mengalir sementara jamaah shalat Jumat pun bergantian untuk untuk menyucikan diri guna menghadap Sang Illahi.
Ratusan wajah sedih maupun gembira itu memadati bagian dalam masjid yang berukuran kurang lebih 250 meter persegi. Kegembiraan itu mungkin karena bisa selamat dari bencana tsunami dan kesedihan juga karena menjadi korban tsunami. Mereka menyatu dalam menjalankan kewajiban sebagai lelaki muslim.
Ketika waktu shalat tiba, pengeras suara yang berada di atas kubah mengeluarkan suara dengung adzan yang dikumandangkan seseorang sebagai panggilan dan menandakan shalat segera dimulai.
Shalat pertama kalinya itu akan diimami oleh Ustaz Hasbullah sekaligus pemberi khutbah di masjid tersebut.
Suasana kemudian jadi menegangkan, ketika si muadzin yang sedang mengumandangkan adzan, tiba-tiba tampak lemas tak berdaya dan terhenti melantunkan adzannya.
Tubuhnya terkulai dan kemudian terjatuh menimpa jamaah lainnya di pertengahan lantunan adzan "asyhadu anna Muhammadar Rasulullah".
Lelaki tersebut adalah Sumanta, pria berumur 40 tahun yang merupakan seorang korban bencana tsunami warga Desa Way Muli Timur.
Sumanta pun langsung dibopong oleh kerabatnya yang kebetulan duduk bersebelahan dengannya di bagian paling depan.
Dia dibopong ke luar halaman teras samping masjid oleh empat kerabatnya. Mereka adalah paman, dua keponakan dan adik kandungnya.
Situasi menegangkan itu membuat jamaah lainnya yang berada di halaman teras samping masjid ikut panik.
Lelaki lain kemudian menggantikan Sumanta untuk mengumandangkan adzan.
Adik Sumanta yang diketahui bernama Suminta seorang guru ngaji bergegas turun ke posko yang berada di depan masjid. Dia mengambil satu gelas air mineral plastik dan juga sepotong roti panjang.
Air mineral dan roti itu pun kemudian disuapkan ke dalam mulut sang kakak sambil mengucapkan istighfar.
Tidak hanya empat kerabat Sumanta, jamaah lainnya pun yang berada di depan maupun belakang tempat Sumanta duduk turut meminta kepada Sumanta untuk mengucapkan istighfar.
"Istighfar kang. Minum cai bodas (minum air putih)," kata Suminta dan jamaah lainnya menyuruhnya minum.
Sekitar 15 menit proses khutbah berjalan, Sumanta baru bisa merasakan tubuhnya sedikit pulih. Kerabatnya meminta dirinya untuk tetap berada di tempat untuk melaksanakan shalat.
"Engges, di die wae shalat na (sudah, di sini saja shalatnya)," kata kerabatnya.
Saat tubuhnya sedikit pulih, Sumanta sempat bercerita kepada kerabatnya bahwa dadanya tiba-tiba sakit dan tidak bisa mengeluarkan suara. Saat menarik nafas ingin melanjutkan adzan tiba-tiba suaranya tidak keluar.
"Pas saya mau lanjut kok tiba-tiba bleng, hilang semua. Terus lama kelamaan kok saya lemas dan pikiran saya entah ke mana," kata Sumanta menjelaskan kepada kerabatnya.
Dengan situasi yang kurang memungkinkan, sang khotib Ustadz Hasbullah hanya memberi sedikit khutbah sebagai penenang untuk jamaah korban bencana tsunami.
Terdengar dari speaker masjid, khotib melantunkan sekaligus menerjemahkan ayat suci Al-Quran kepada jamaah shalat Jumat yang maknanya bahwa setiap makhluk yang bernyawa pasti akan mati.
Khatib tidak lama berkhutbah, dan jamaah yang berada di depan kemudian mengumandangkan iqomah menandakan bahwa shalat Jumat dimulai.
Iqomah itu kemudian dibarengi berdirinya para jamaah. Berselang lima menit, shalat telah usai dan para jamaah ada yang pulang ke rumahnya masing-masing dan ada yang hanya kembali ke posko.
Sumanta termasuk yang pulang ke sebuah rumah, tidak jauh dari lokasi masjid, hanya kurang lebih 50 meter, rumah yang merupakan tempat tinggal paman Sumanta.
Di kediaman pamannya, Sumanta kembali menceritakan peristiwa yang terjadi kepadanya. Dia mengatakan sebelum pingsan, ia teringat peristiwa tsunami yang menerjang warga Desa Way Muli Timur termasuk keluarganya yang tinggal di desa tersebut.
"Gak tau tiba-tiba kok saya teringat, karena saat itu saya ikut menolong keluarga saya dan warga lainnya yang terkena bencana dan tertimpa reruntuhan," tuturnya menerangkan.
Tidak ada aktivitas lagi yang dapat dilakukan Sumanta. Perahu pencari ikan satu-satunya miliknya yang biasa digunakan untuk mencari nafkah untuk keluarganya telah hancur.
Kini dirinya hanya pasrah dan hanya berharap agar pemerintah dapat memberi perahu untuknya agar bisa kembali bekerja.
"Rumah alhamdulillah tidak terkena, cuma kapal perahu kami terkena. Kami biasa menggunakannya untuk mencari ikan," kata dia menjelaskan.
Sumanta yang sehari-harinya bermata pencaharian sebagai nelayan, mengaku sangat trauma atas bencana tsunami yang terjadi di perairan Pantai Selatan itu.
Rumahnya sangat beruntung, tidak tersentuh gelombang laut karena posisinya berada di seberang jalan yang lumayan cukup tinggi.
Hanya saja perahunya, penopang kehidupannya dan keluarganya hancur, termasuk rumah beberapa kerabatnya yang tinggal di desa tersebut. Gelombang tsunami kala itu sungguh mengerikan.
Baca juga: Alat berat bersihkan sisa-sisa puing bangunan di Lampung
Baca juga: 7 nelayan korban tsunami Selat Sunda belum ditemukan
Pewarta: Triono Subagyo dan Damiri
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018