Merawat oase sportivitas Asian Games 2018

30 Desember 2018 06:01 WIB
Merawat oase sportivitas Asian Games 2018
Ilustrasi (ddn)
Jakarta (ANTARA News) - Jika kita sepakat dengan para pengelola negeri sejak pasca kekaisaran Romawi hingga era Jokowi yang berkeyakinan bahwa banyak inspirasi dan nilai-nilai luhur bisa dipetik dari dunia olah raga (sport), maka tahun 2018 yang semarak dengan pesta olahraga seharusnya menjadi momentum panen raya nilai-nilai luhur nan inspiratif tersebut.

Bagi bangsa Indonesia, tahun 2018 boleh dikatakan sebagai tahun olahraga, ditandai dengan perhelatan Asian Games ke-18, sebuah peristiwa olahraga terbesar sepanjang sejarah yang terjadi di tanah air. Diteruskan dengan Asian Para Games, perhelatan olahraga berbingkai humanism untuk kalangan disabilitas. Di awal tahun, juga berlangsung Piala Dunia sepak bola. Walaupun berlangsung di Rusia, kemeriahannya cukup menyihir para mania bola di tanah air.

Khusus di Asian Games, Indonesia membuktikan sebagai negeri yang dihuni manusia-manusia kreatif dan produktif. Ini terbukti dari penyelenggaraan even tingkat Asia itu yang dinilai menuai sukses, baik sebagai penyelenggara maupun sebagai kontestan.

Sebagai penyelenggara, Indonesia menjalankannya dengan relatif mulus. Nyaris tidak ada insiden memalukan selama berlangsungnya Asian Games. Setiap pertandingan berjalan lancar. Bahkan acara pembukaan dikemas secara kreatif, kolosal, dan memorabel. Tak kalah dengan pembukaan sekelas olimpiade sekalipun. Semua terpukau, terliat dari komentar-komentar yang banyak dikutif media. Acara penutupan pun kemudian menjadi arena pidato puja-puji kepada Indonesia, baik itu dari perwakilan kontingen, pemerintah, komite olahraga Asia (OCA), hingga komite Olimpiade Internasional (IOC).

Barangkali yang sempat sedikit mencoreng dan banyak dikeluhkan adalah sulitnya masyarakat untuk mendapat tiket pertandingan. Entah ke mana raib nya tiket-tiket itu, padahal dalam setiap acara selalu tampak adanya kursi-kursi penonton yang kosong.

Sukses kedua adalah sukses prestasi sebagai peserta. Kontingen Indonesia berhasil mengumpulkan 31 medali emas, dan menempati peringkat keempat. Ini adalah pencapaian yang jauh melampau target dan menjadi prestasi terbaik sepanjang sejarah kepesertaan Indonesia di Asian Games. Prestasi ini terasa sangat menonjol kalau kita bandingkan dengan pencapaian para atlet Indonesia di beberapa Asian Games terakhir. Di Incheon Korea Selatan, empat tahun lalu, kontingen Indonesia hanya mendapat empat medali emas dan menempati peringkat 17.

Baca juga: Hasto: Presiden sukses selenggarakan tiga event internasional

Di luar dwisukses tersebut, penyelenggaraan Asian Games juga membawa pengaruh positif pada hal lain seperti lalu lintas Jakarta yang menjadi lebih “beradab”. Selama Asian Games jalan-jalan ibukota relatif lancar, karena pemberlakuan sistem ganjil genap. Pemerintah DKI nampaknya sangat menikmati sukses itu. Sistem ganjil-genap itu digadang-gadang akan terus dipertahankan. Masalahnya, sistem ini adalah tindakan instan yang mungkin efektif selama Asian Games, tapi jika tanpa didukung sarana transportasi umum yang memadai, maka sistem ganjil genap akan jadi masalah besar jika diterapkan dalam jangka waktu lama.

Lebih dari itu semua, yang paling penting adalah sepanjang Asian Games banyak momen momen yang memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kompak dan penuh kebersamaan. Semua kalangan, mulai dari voluntir, atlet, pengurus olahraga, pemerintah, hingga pengusaha bahu-membahu untuk menyukseskan Asian Games. Para politikus pun seakan-akan menunda kegaduhan selama perhelatan olahraga itu. Momen yang paling ikonik nan menyejukan adalah saat Presiden Jokowi dan Prabowo disatukan oleh atlet pencak silat Indonesia, Hanifan Yudani Kusumah.

Hanifan yang menyumbang medali emas  ke-29 bagi Indonesia secara spontan memeluk Jokowi dan Prabowo, sehingga kedua tokoh yang akan bersaing di pemilihan presiden (Pilpres) 2019  ini juga berpelukan. Berbagai video, foto, dan meme beredar luas di media sosial tentang peristiwa berpelukan kedua tokoh itu yang mengirimkan pesan yang kuat kepada publik bahwa terlepas dari persaingan mereka yang sangat intens dalam politik, keduanya dapat berinteraksi dengan baik, damai, dan sarat sportivitas.

Baca juga: Hanifan akui bersikap spontan satukan Jokowi dan Prabowo dalam pelukan

Asian Games, dan olahraga pada umumnya, telah mengajarkan bahwa damai dan sportivitas itu indah. Tentu saja kita sangat berharap, baik para pendukung Jokowi maupun Prabowo serta seluruh rakyat Indonesia bisa menyaksikan kedua kontestan Pemilihan Presiden itu tetap “berpelukan” dan benar-benar menerapkan sportivitas dalam persaingan memperebutkan tampuk kekuasaan di tahun 2019.

Akan tetapi, seiring berakhirnya Asian games, tak memerlukan waktu lama momen menyejukkan tersebut perlahan dilupakan para pendukung kedua pihak ketika masa kampanye pemilihan umum dibuka. Walaupun kedua kubu berikrar damai dan bertekad menciptakan kontes politik yang bermutu dan sehat, pada praktiknya jauh panggang dari api. Tontonan debat di berbagai media memperlihatkan debat yang banal. Banal dalam arti dangkal dan hanya berupaya menang dengan mengungkap borok lawan. Banalitas kampanye semakin jelas terlihat di media-media sosial. Perang buzzer nyaris tanpa etika bahkan cenderung sarkastis.

Tahun 2018 usai, Namun, Asian Games sebagai momen spesial semoga tetap dikenang. Semangat sportivitas yang secara luas ditunjukkan oleh para atlet di seluruh cabang pesta olah raga Asia tersebut sebaiknya diimplementasikan dalam perpolitikan Indonesia dan setiap langkah para politisinya dalam berlomba menduduki tampuk kekuasaan.

Baca juga: Tahun 2018 dikenang karena Asian Games

Menjelang pemilihan umum pada bulan April 2019, sportivitas tampaknya sangatlah dibutuhkan di tengah indikasi akan adanya persaingan yang berlangsung tidak sehat dan  memecah belah. Bangsa indonesia harus belajar dari suasana pemilu 2014 yang penuh cacian dan tak kunjung membaik hingga pemilihan gubernur Jakarta pada tahun 2017. Diselingi jeda sedikit pada tahun ini dengan adanya oase Asian Games, ketegangan berlanjut menjelang Pemilu 2019. Media sosial kembali menjadi pertempuran cacian antara para kontestan Pemilu.

Asian Games 2018 memberi contoh bahwa olah raga memperlihatkan karakter yang dibutuhkan oleh para kontestan politik yang akan melakukan olah negara. Dalam olah raga, para atlet mengatasnamakan keharuman nama bangsa mengalahkan kalkulasi untung-rugi. Dalam olahraga, atlet sejati lebih mendahulukan kesiapan berjuang ketimbang mengedepankan hasil.

Kesiapan berkorban dan kesungguhan berjuang demi mengharumkan bangsa menjadikan atlet sejati dihargai sebagai pahlawan. Wajar jika para peraih medali emas Asian Games diarak dan dielu-elukan di mana-mana serta diberi bonus yang layak. Keberhasilan para atlet Indonesia di Asian Games membantu menaikkan moral bangsa. Tatkala kita mungkin kecewa atau kehilangan harapan kepada para pengolah negara, masih ada para atlet yang mengibarkan panji kebesaran bangsa dan Negara.

Momen-momen di Asian Games memperlihatkan olahraga telah memberi kontribusi terhadap formasi dan konservasi nilai-nilai manusiawi yang luhur. Paling tidak, bangsa Indonesia bisa memungut kosa kata “sportif” sebagai acuan nilai dalam permainan nyata yang bernama kehidupan.

Tahun 2018 dengan Asian Games-nya usai, berganti tahun 2019 sebagai tahun politik lagi. Perebutan tampuk kekuasaan negeri ini ditengarai akan berlangsung panas. Kita cuma bisa berharap, mudah-mudahan para kontestan politik tersebut masih mengingat bahwa pernah ada oase di negeri ini bernama Asian Games yang menampung semangat sportivitas dan mengutamakan kepentingan bangsa.

Baca juga: Inasgoc menghemat Rp2,8 triliun

Baca juga: Sukses Asian Games 2018 dijadikan pijakan sukses pemuda


 

Pewarta: Dadan Ramdani
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2018