• Beranda
  • Berita
  • Peneliti: pendidikan siaga bencana mesti sesuai karakteristik lokal

Peneliti: pendidikan siaga bencana mesti sesuai karakteristik lokal

2 Januari 2019 18:36 WIB
Peneliti: pendidikan siaga bencana mesti sesuai karakteristik lokal
Siswa mengikuti pendidikan tanggap bencana di SMP Juara Bandung, Jawa Barat, Selasa (17/10/2018). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj.

Jakarta (ANTARA News)- Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Deni Hidayati mengatakan pendidikan siaga bencana mestinya disesuaikan dengan karakteristik lokal daerah.

"Pendidikan siaga bencana perlu disesuaikan dengan karakteristik lokal, yang tentu saja diperbaharui dengan kondisi kekinian," katanya dalam satu acara diskusi di Jakarta, Rabu.
  
Masyarakat lokal mempunyai kedekatan dan pemahaman mengenai alam sekitar mereka, dan menyimpan ingatan mengenai peristiwa-peristiwa alam seperti bencana dalam dongeng maupun syair.

Deni menggunakan dongeng Smong di Simeulue, Aceh, sebagai contoh. Tahun 1907 tsunami melanda daerah itu dan warga setempat menyebutnya sebagai Smong.

Syair tentang peristiwa itu, yang antara lain menyebutkan bahwa jika terjadi gempa harus segera lari ke bukit tanpa melihat air surut, dituturkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Sementara di Palu sejak lama dikenal adanya Nalodo, fenomena pergeseran tanah, semacam likuifaksi yang terjadi setelah gempa bumi 29 September 2018. 

Pengetahuan-pengetahuan lokal seperti itu, menurut Deni, mesti diperbarui berdasarkan kejadian-kejadian terkini dan kemudian dijadikan sebagai masukan dalam edukasi dan latihan kesiapsiagaan menghadapi bencana secara berlanjut.

Deni juga mengingatkan pentingnya pendidikan siaga bencana formal dan nonformal secara berkelanjutan.

"Simulasi juga perlu dilakukan berkala, juga ada perlunya lumbung desa untuk mengantisipasi kondisi bencana," kata dia.

Peringatan Dini

Peneliti bidang instrumentasi kebencanaan Pusat Penelitian Fisika LIPI Bambang Widiyatmoko mengemukakan alternatif sistem peringatan dini selain buoy, yakni dengan menggunakan laser tsunami sensor.
    
"Prinsip kerjanya mengirim cahaya dari darat yang ditembakkan ke dasar laut, lalu ada sensor di dasar laut yang kembali menembakkan cahaya itu ke pos pantau," kata Bambang.
     
"Ketika terjadi pergerakan air laut yang tidak biasa atau ada tekanan berubah, sensor deteksi akan membelokkan cahaya yang akan menjadi tanda peringatan bahaya tsunami ke pos pemantau," ia menambahkan.

LIPI juga mengembangkan sistem pemantauan gerakan tanah berbasis jejaring sensor nirkabel yang bernama LIPI Wireless Sensor Network for Landslide Monitoring (WISELAND) untuk mendeteksi risiko tanah longsor.

"Teknologi ini dapat digunakan untuk memantau bahaya gerakan tanah dalam maupun dangkal, baik pada lereng alami, potongan atau timbunan," kata Peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Adrin Tohari.

Baca juga:
LIPI: pengurangan risiko bencana jangan cuma andalkan peringatan dini
Peneliti: sosialisasi-pendidikan mitigasi bencana harus berlanjut


 

Pewarta: Indriani
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019