Pekanbaru, (ANTARA News) - Sejumlah aktivis lingkungan di Provinsi Riau meminta Badan Restorasi Gambut (BRG) membuat gebrakan pada tahun 2019 ini dengan berani mengintervensi korporasi untuk meningkatkan capaian restorasi gambut.Gambut abadi, sedangkan kebijakan ini berjangka, BRG punya umur, LSM juga punya umur. Pastikan setelah BRG selesai, bisa lanjut. Karena itu, yang harus dilakukan adalah pendampingan masyarakat agar mampu merestorasi gambut dengan jaminan kesejahteraa
"Penting sekali BRG melakukan intervensi ke perusahaan-perusahaan," kata Sekretaris Jenderal Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) Isnadi Esman di Pekanbaru, Selasa.
Ia menilai tanpa adanya intervensi dari BRG, maka realisasi restorasi gambut di Riau akan selalu rendah. Sedangkan, area restorasi gambut paling luas berada di konsesi perusahaan yakni mencapai sekitar 700 ribu hektare (ha).
Selain itu, ia juga berharap agar dua instansi yang bertanggung jawab dalam program ini, yakni BRG dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berkomitmen untuk bersinergi jangka panjang. Kebijakan pengelolaan gambut jangka panjang perlu keterlibatan dan kesadaran langsung dari masyarakat, yang mendapat manfaat langsung dari menjaga kelestarian lingkungan.
"Gambut abadi, sedangkan kebijakan ini berjangka, BRG punya umur, LSM juga punya umur. Pastikan setelah BRG selesai, bisa lanjut karena itu perlu pendampingan, dan paling besar upaya yang harus dilakukan adalah pendampingan masyarakat agar mampu merestorasi gambut dengan jaminan kesejahteraan mereka," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Kaliptra Sumatra, Romes Irawan Putra menambahkan, kinerja BRG hingga tahun 2018 perlu diapresiasi meski diakuinya belum optimal.
Ia juga menyoroti keberanian BRG melakukan intervensi ke korporasi, dan yang tidak kalah penting adalah transparansi anggaran restorasi gambut. "Transparansi anggaran harus jelas," katanya.
Secara terpisah, Kepala BRG Nazir Foead menyatakan pihaknya mengawasi kinerja perusahaan dalam merestorasi gambut termasuk juga apabila ditemukan pelanggaran. Namun, BRG tidak berhak melakukan penindakan.
"Kalau ditemukan pelanggaran oleh korporasi, kita melaporkannya ke KLHK. Sudah ada yang kita laporkan, tapi angkanya saya tidak ingat," kata Nazir.
Nazir juga membantah pernyataan pernyataan sejumlah LSM lingkungan bahwa realisasi restorasi gambut, khususnya di Provinsi Riau, berjalan lambat hanya karena di bawah 10 persen dari target 800 ribu ha.
Ia menjelaskan, bahwa dari 800 ribu ha lahan gambut yang direstorasi, BRG hanya fokus pada sekitar 109 ribu ha yang merupakan lahan masyarakat. Sisanya adalah masuk dalam konsesi perusahaan, yang tanggung jawab utama pelaksanaan ada di KLHK.
ari 109 ribu ha tersebut, lanjutnya, realisasi hingga 2018 sudah mencapai sekitar 77 ribu ha atau sekitar 70 persen yang direstorasi. Masih ada sisa 30 ribu ha lahan masyarakat yang akan direstorasi hingga 2020.
Pencapaian 70 persen tersebut dinilai Nazir sudah cukup baik karena baru mulai 2018 ikut proses restorasi gambut melibatkan pemerintah daerah melalui Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Riau.
"Karena baru dilaksanakan mulai 2018 dengan skema swadaya melibatkan pemerintah daerah, pencapaian ini sudah cukup bagus," katanya.
Terkait hasil restorasi gambut di kawasan konsesi perusahaan, Nazir mengatakan belum mendapat hasil laporan yang final. "Masih menunggu hasil evaluasi," katanya.
Baca juga: Tiga juta hektare lahan gambut Riau rusak
Baca juga: Polres Meranti kesulitan ungkap pembakar lahan gambut
Baca juga: BRG bantah realisasi restorasi gambut Riau di bawah 10 persen
Pewarta: Febrianto Budi Anggoro
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019