Tak hanya melakukan pengawasan dan penegakan hukum, Jalal juga menilai pemerintah mesti memperbaiki kebijakan pengendalian udara, baik di pusat mau pun di daerah.
“Perbaikan kebijakan ini harus mencakup seluruh aspek sumber pencemaran, baik sumber bergerak seperti kendaraan mau pun sumber tidak bergerak,” kata dia.
Pada sumber bergerak, pemerintah harus melakukan uji emisi secara berkala, menurut dia pemerintah DKI Jakarta sudah lama tidak melakukan uji emisi tersebut.
Untuk kendaraan yang tak lulus uji emisi harusnya diberikan sanksi. Kemudian dia juga mendorong ada inventarisasi emisi untuk sumber tidak bergerak seperti industri.
Tidak hanya dari kendaraan dan industri saja, adanya PLTU yang berada di dalam radius 100 km juga menjadi penyumbang pencemaran udara di Jakarta.
“Tidak adanya koordinasi pengendalian pencemaran udara lintas provinsi bisa berpotensi menabah beban polusi udara di Jakarta,” kata dia.
Ahli pencemaran Udara dan Lingkungan ITB Driejana mengatakan sebenarnya DKI Jakarta telah memiliki kebijakan pengendalian udara yang baik. Namun, keinginan pemerintah masih perlu didorong.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal, Ahmad Safrudin, dalam konferensi pers di mengatakan selama 2016-2018 parameter pencemar udara untuk PM 2,5 di Jakpus dan Jaksel selalu menunjukkan angka di atas Baku Mutu Udara Daerah (BMUAD) Jakarta.
“Standar tahunan nasional dan WHO masing-masing adalah 15 ug/m3 dan 10 ug/m3. Namun, konsentrasi PM tahunan 42,2 ug/m3 dan 37,5 ug/m3,” kata dia.
Parameter pencemar lain seperti Ozone juga mengkhawatirkan. Standar nasional dan Jakarta adalah masing-masing, 50 ug/m3 dan 30 ug/m3.
Namun dalam tujuh tahun terakhir, 2011-2018, di sejumlah wilayah seperti Bundaran HI, Kelapa Gading, Jagakarsa, Lubang Buaya, dan Kebon Jeruk, angkanya di atas itu.*
Baca juga: Pencemaran udara DKI lampaui baku mutu
Baca juga: BMKG: Indonesia tidak masuk rilis polusi udara WHO
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019