Jakarta (ANTARA News) - Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (Huma) Indonesia mencatat sebanyak 326 konflik sumber daya alam dan agraria terjadi di Indonesia hingga Desember 2018.Konflik perkebunan dan kehutanan menjadi konflik yang paling sering terjadi di Indonesia
Konflik-konflik tersebut berlangsung di 158 kabupaten dan kota di 32 provinsi dengan luas areal 2.101.858,221 hektar dan melibatkan 286.631 jiwa korban, yang terdiri atas 176.337 jiwa masyarakat adat dan 110.294 jiwa masyarakat lokal.
"Konflik perkebunan dan kehutanan menjadi konflik yang paling sering terjadi di Indonesia," kata Direktur Perkumpulan Huma Indonesia Dahniar Adriani dalam peluncuran Outlook: Meretas Mimpi Hutan Adat di Jakarta, Rabu.
Konflik perkebunan yang terjadi berjumlah 156 konflik pada lahan seluas 619.959,04 hektar dan melibatkan 46.934 jiwa korban yang terdiri dari 25.149 jiwa masyarakat adat dan 21.785 jiwa masyarakat lokal.
Sedangkan konflik kehutanan terjadi sebanyak 86 konflik pada lahan seluas 1.159.710,832 hektar. Konflik itu melibatkan 121.570 jiwa korban, yang terdiri dari 95.001 jiwa masyarakat adat dan 26.569 jiwa masyarakat lokal.
Dahniar menuturkan konflik sektor kehutanan merupakan sektor dengan areal terluas padahal dari sisi kebijakan, pemerintah berkomitmen untuk mengalokasikan sedikitnya 12,7 juta hektar kawasan hutan untuk berbagai skema perhutanan sosial termasuk hutan adat.
Perkumpulan Huma mengemukakan perusahaan menjadi pihak yang paling sering menjadi pelaku konflik dalam konflik agraria dan sumber daya alam. Perusahaan terlibat dalam 221 konflik, disusul dengan kementerian yang membidangi kehutanan dan atau taman nasional dengan 31 konflik.
Dari konflik itu, terdapat 47 kasus penangkapan dengan jumlah korban 777 orang, sebanyak 39 kasus pemidanaan dengan jumlah korban 374 orang, sebanyak 25 kasus penganiayaan dengan jumlah korban 309 orang, dan 12 kasus yang mengakibatkan hilangnya nyawa dengan jumlah 29 jiwa.
"Ketika masyarakat hukum adat akhirnya berhasil mendapatkan penetapan hutan adat, belum tentu serta merta mereka dapat langsung menikmati hak tradisional mereka. Penyelesaian konflik dengan pihak lain menyebabkan hak tradisional masyarakat hukum adat belum terjamin," tuturnya.
Sementara, undang-undang yang sering dipakai menjadi dasar pemidanaan adalah Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
"Kepastian hak atas hutan adat sejatinya harus dikuatkan dengan administrasi pertanahan, pencantuman dalam peta kawasan hutan, dan integrasi ke RT/RW, yang kesemuanya sampai saat ini belum dilakukan," lanjutnya.
Baca juga: HuMa dorong harmonisasi kerangka hukum penetapan hutan adat
Baca juga: AMAN: RUU masyarakat adat harapan penyelesaian konflik
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019