Jakarta (ANTARA News) - Pakar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Hariadi Kartodihardjo mengatakan harus ada pendampingan lebih lanjut terhadap masyarakat hukum adat untuk mengelola hutan adat secara maksimal untuk kemaslahatan bersama.Pendampingan itu sebetulnya tidak boleh berhenti hanya sampai urus izin selesai
"Pendampingan itu sebetulnya tidak boleh berhenti hanya sampai urus izin selesai," ujar dosen di Fakultas Kehutanan IPB itu usai peluncuran Outlook: Meretas Mimpi Hutan Adat di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, pendampingan tersebut di antaranya dapat berupa tata cara pengambilan keputusan dalam mengelola kehutanan untuk menghindari keputusan yang keliru atau sarat dengan kepentingan tertentu yang ditetapkan oleh pemimpin lokal dan masyarakat setempat.
"Pertanyaannya kan emang tidak bisa nyeleweng itu orang. Nah maka yang kemudian dicoba adalah keterbukaan informasinya bagaimana proses ini, kalau ada pendamping segala macam prosesnya kan ada orang lain, jadi tidak eksklusif di situ tapi bisa inklusif," ujarnya.
Pendampingan terhadap masyarakat adat juga berguna agar mereka tidak mudah dikelabui kepentingan tertentu yang ingin mengeksploitasi hutan adat di saat mereka mendapatkan penetapan hutan adat.
Sebelumnya, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) Indonesia mendorong harmonisasi dan integrasi untuk merekonstruksi kerangka hukum dalam hal penetapan hutan adat.
"Pendekatan harmonisasi berfokus pada menyelaraskan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat yang telah ada dan tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan," kata Direktur Perkumpulan HuMa Indonesia Dahniar Adriani.
Sedangkan pendekatan integrasi, menurut dia, memberikan penekanan untuk menyatukan atau menarik semua persoalan mengenai masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya ke dalam satu undang-undang khusus tentang masyarakat hukum adat.
Perkumpulan HuMa Indonesia mencatat sebanyak 326 konflik sumber daya alam dan agraria terjadi di Indonesia hingga Desember 2018.
Konflik-konflik tersebut berlangsung di 158 kabupaten dan kota di 32 provinsi dengan luas areal 2.101.858,221 hektar dan melibatkan 286.631 jiwa korban, yang terdiri atas 176.337 jiwa masyarakat adat dan 110.294 jiwa masyarakat lokal.
"Konflik perkebunan dan kehutanan menjadi konflik yang paling sering terjadi di Indonesia," ujar Dahniar.
Baca juga: HuMa dorong harmonisasi kerangka hukum penetapan hutan adat
Baca juga: AMAN: RUU masyarakat adat harapan penyelesaian konflik
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019