• Beranda
  • Berita
  • Indeks kinerja, laporan dan catatan HAM di Indonesia

Indeks kinerja, laporan dan catatan HAM di Indonesia

17 Januari 2019 14:46 WIB
Indeks kinerja, laporan dan catatan HAM di Indonesia
Siluet peneliti Ahmad Fanani Rosidi Setara Institute memberikan keterangan kepada wartawan terkait Publikasi Indeks Kinerja HAM 2015 di Jakarta, Rabu (9/12). (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
Dalam Indeks Kinerja HAM (IKH) yang terakhir dirilis Setara Institute pada 2016, total skor berada pada angka 2,83; meningkat 0,38 poin dari IKH pada 2015 sebesar 2,45 dan pada 2014 sebesar 2,49.

Survei yang dilakukan pada 5 November - 5 Desember 2016 itu memiliki delapan variabel yang dijadikan alat ukur dan menangkap persepsi responden ahli.

Selain variabel kebebasan berekspresi dan berserikat serta variabel kebebasan beragama/berkeyakinan, semua variabel menunjukkan tren positif yang menunjukkan kepercayaan responden ahli kepada pemerintah untuk menjalankan tugas pembangunan bidang HAM.

Enam variabel yang menunjukkan tren positif adalah penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, rasa aman dan perlindungan, penghapusan hukuman mati, penghapusan diskriminasi, RANHAM dan kinerja lembaga HAM serta pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya.

Secara umum, Setara Institute menyebut belum meningkatnya indeks HAM secara signifikan disebabkan oleh komitmen pemerintah di bidang HAM yang belum terpenuhi.

Pemerintah nyaris tidak punya sikap dan roadmap untuk pemajuan, penghormatan, dan pemenuhan HAM akan dijalankan dan diintegrasikan dalam proses pembangunan negara.

Dalam bidang legislasi, meski giat melakukan deregulasi ekonomi, tetapi pada saat bersamaan pemerintah abai memastikan produk legislasi yang potensial merampas hak asasi manusia.

Janji penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu meski eksplisit disebutkan dalam Nawacita, tidak kunjung ada kemajuan dilanjutkan ke proses penyidikan meski berkasnya telah diserahkan Komnas HAM ke Jaksa Agung.

Secara umum, catatan Setara Institute untuk penegakan HAM pada 2016 adalah pemerintah belum menunjukkan keberpihakan politik pada pengungkapan kasus masa lalu dan penanganan kasus masa kini.

Politik legislasi pun tidak kondusif untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM di masa yang akan datang, misalnya Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) sebagai acuan pembangunan bidang HAM hanya dokumen perencanaan untuk memperoleh anggaran tanpa mampu melimpahkan keadilan untuk warga.

Selanjutnya untuk penegakan HAM pada 2017, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dalam laporannya menyebut terdapat sejumlah permasalahan krusial sepanjang 2017.

Permasalahan pertama adalah terus berlanjutnya impunitas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu, meski pemerintah menjanjikan pembentukan suatu Komite Adhoc Kepresidenan untuk penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, tetapi selama 2017 inisiatif pembentukan komite itu belum nampak.

Laporan hasil penyelidikan Komnas HAM untuk kasus pelanggaran HAM berat sampai berakhirnya periode Komnas HAM 2012-2017 tidak satu pun mengalami perkembangan.

Sementara untuk inisiatif pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi di Aceh melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, pemerintah pusat tercatat belum memberikan dukungan resmi untuk mendukung proses penyelesaian di Aceh melalui KKR.

Justru yang terjadi makin kuatnya tekanan-tekanan dari kelompok penentang terhadap agenda-agenda pengungkapan kebenaran dan penyelesaian, seperti penyerangan kantor YLBHI dan tekanan kepada penyelenggaran diskusi dan pertemuan yang diorganisir masyarakat sipil.

Dalam aspek perlindungan kebebasan sipil, naiknya intoleransi dan ekstrimisme berbasis kekerasan telah berdampak pada kian terkoyaknya kebebasan sipil.

Keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dinilai Elsam sebagai langkah mundur karena berpotensi mengoyak perlindungan kebebasan berserikat dan berorganisasi, serta kebebasan beragama/berkeyakinan.  

Laporan Elsam juga menggarisbawahi maraknya penyebaran hoaks melalui media sosial dan internet memicu naiknya intoleransi yang mengancam kebebasan sipil.

Perubahan UU Tindak Pidana Terorisme soal pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme serta tindak pidana baru yang masuk kategori perbuatan persiapan dan percobaan disebut menambah faktor kriminogen yang juga mengancam kebebasan sipil.

Masih sama dengan catatan Setara Institute pada 2016, sejumlah proyek-proyek strategis nasional berdampak pada pelanggaran HAM, apalagi dengan adanya Perpres Nomor 56 Tahun 2017 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Proyek Strategis Nasional.

Praktik-praktik pelanggaran oleh korporasi, seperti tindakan kekerasan terhadap petani yang menuntut tanahnya, kriminalisasi terhadap petani dan para pembela lingkungan juga masih terjadi.

Catatan Hari Hak Asasi Manusia (Cahaham) 2018 yang disusun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) selain mencatat persoalan sama dengan tahun-tahun sebelumnya soal pelanggaran HAM berat masa lalu, intoleransi dan pelanggaran selama pembangunan infrastruktur, juga menyoroti pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) selama berlangsungnya Asian Games 2018 dan Asian Para Games 2018.

Atas nama pemulihan keamanan selama perhelatan besar di Indonesia, perang terhadap para penjahat jalanan dan narkoba yang memperbolehkan polisi melakukan tindakan keras membuat agenda HAM terpinggirkan.

Untuk penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, KontraS mengkritisi inisiatif yang muncul dari Kemenkopolhukam dan lemahnya lembaga korektif seperti Komnas HAM dan Ombudsman dalam mendorong penuntasan kasus itu.

Sementara itu, KKR Aceh yang telah menggelar dengar kesaksian pada November 2018, belum sepenuhnya mendapat dukungan dari pemerintah di tingkat nasional.

Persoalan revisi Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 tentang Organisasi kemasyarakatan, Rancangan Undang – Undang Kitab Hukum Pidana (RKUHP) serta UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Tindak Pidana Terorisme pun belum terselesaikan pada tahun 2018.

Dalam sektor sumber daya alam (SDA), KontraS mencatat terdapat peristiwa pelanggaran HAM di sektor SDA sejumlah 194 kasus dengan didominasi oleh kasus-kasus perampasan tanah atau okupasi dan kriminalisasi.

Salah satu kasus okupasi yang terjadi ialah pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di DIY.

Selain itu, peristiwa serangan, pembubaran kegiatan, penangkapan, penyiksaan, pembunuhan di luar proses hukum dan kriminalisasi menyasar kelompok LGBT, petani, buruh dan pegiat lingkungan hidup dan kelompok masyarakat sipil lainnya pun masih terjadi.

Catatan tersebut diharapkan menjadi pijakan para pemangku kepentingan dalam mengambil kebijakan ke depan yang sesuai dengan prinsip-prinsip HAM dan keadilan untuk korban pelanggaran HAM.

Baca juga: ILR dorong capres-cawapres prioritaskan isu HAM
Baca juga: Isu hukum dan HAM jangan hanya jadi dagangan

Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019