Awalnya, Ketua AJI Denpasar, Nandhang R.Astika, memprotes pemberian grasi oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) terhadap I Nyoman Susrama yang menjadi otak pembunuh wartawan Radar Bali, Jawa Pos Grup, AA Gde Bagus Narendra Prabangsa.
"Itu merupakan langkah mundur terhadap penegakan kemerdekaan pers, karena pengungkapan kasus pembunuhan wartawan di Bali pada tahun 2009 itu menjadi tonggak penegakan kemerdekaan pers di Indonesia. Sebelumnya tidak ada kasus kekerasan terhadap jurnalis yang diungkap secara tuntas di sejumlah daerah di Indonesia, apalagi dihukum berat," katanya.
Dalam siaran pers yang juga ditandatangani Kepala Divisi Advokasi AJI Denpasar, Miftachul Huda, ia menegaskan bahwa vonis seumur hidup bagi Nyoman Susrama di Pengadlan Negeri Denpasar pada saat itu menjadi angin segar terhadap kemerdekaan pers dan penuntasan kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia yang masih banyak belum diungkap.
AJI Denpasar bersama sejumlah advokat, dan aktivis yang dari awal ikut mengawal Polda Bali dalam menuntaskan kasus itu pasti akan tahu benar bagaimana susahnya mengungkap kasus pembunuhan jurnalis yang terjadi pada 11 Februari 2009 itu.
Sebelumnya, korban dilaporkan hilang setelah menghadiri acara di rumah terpidana Susrama di Banjar Petak, Kecamatan Bebalang, Kabupaten Bangli, namun jenazahnya akhirnya ditemukan di wilayah perairan Klungkung dalam selang 3-4 hari kemudian.
Perlu waktu berbulan-bulan dan energi yang berlebih hingga kasusnya dapat diungkap oleh Polda Bali.
Susahnya pengungkapan itu karena almarhum wartawan Radar Bali AA Narendra Prabangsa itu diduga tewas terkait pemberitaan proyek-proyek di Kabupaten Bangli yang diungkapnya, di antaranya dugaan korupsi di Dinas Pendidikan Bangli. Almarhum memang dikenal kritis, termasuk pada DPRD.
Oleh karena itu, AJI menilai pemberian grasi dari seumur hidup menjadi 20 tahun ini bisa melemahkan penegakan kemerdekaan pers, karena setelah remisi 20 tahun akan menerima remisi lagi dan bukan tidak mungkin nantinya akan menerima pembebasan bersyarat.
"Karena itu, AJI Denpasar sangat menyayangkan dan menyesalkan pemberian grasi tersebut. Meski presiden memiliki kewenangan untuk memberikan grasi sesuai diatur UU Nomor 22 Tahun 2002 dan Perubahannya UU Nomor 5 Tahun 2010, namun seharusnya ada catatan maupun koreksi baik dari Kemenkumham RI dan tim ahli hukum presiden sebelum grasi itu diberikan," katanya.
Untuk itu, AJI Denpasar menuntut agar pemberian grasi (semula disebut grasi, lalu direvisi menjadi remisi) kepada otak pembunuhan AA Gde Bagus Narendra Prabangsa untuk dicabut atau dianulir.
Hal itu langsung mendapat respons dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Ia membantah pihaknya telah memberikan grasi kepada otak pembunuh wartawan Radar Bali Anak Agung Gde Bagus Narendra Prabangsa, I Nyoman Susrama, melainkan pihaknya memberikan remisi perubahan.
"Itu bukan grasi, remisi perubahan. Ya, remisi," kata Yasonna di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta (23/1/2019).
Menurut Yasonna, pemberian perubahan remisi itu dengan pertimbangan yuridis terkait remisi bahwa I Nyoman Susrama hampir sepuluh tahun di penjara dan berkelakuan baik, juga mempertimbangkan umurnya yang sudah tua.
"Dia sudah 10 tahun (dipenjara) tambah 20 tahun, jadi 30 tahun. Umurnya sekarang sudah hampir 60 tahun. Dia selama melaksanakan masa hukumannya, tidak pernah ada cacat, mengikuti program dengan baik, berkelakuan baik," ungkap Yasonna.
Proses Lama
Menkumham juga menegaskan bahwa pemberian remisi perubahan terhadap I Nyoman Susrama dari hukuman penjara seumur hidup menjadi 20 tahun penjara telah melalui proses cukup lama dan bukan politis, melainkan murni hukum.
Yasonna mengungkapkan bahwa proses remisi perubahan ini diusulkan oleh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) setelah melihat rekam jejak dia dan dibawa ke tim pengamat Pemasyarakatan (TPP) untuk diusulkan ke Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM.
Di Kanwil dibahas lagi. Kanwil membuat rapat kembali dan ada TPP-nya lagi, lalu diusulkan lagi yang rekomendasinya ke Dirjen PAS.
Dirjen PAS rapat kembali dan membuat TPP lagi, karena untuk prosedur itu sangat panjang baru diusulkan ke dirinya selaku Menkumham.
Yasonna juga mengungkapkan bahwa keputusan pemberian remisi perubahan ini juga melibatkan institusi lain. "Jadi jangan dipikir ini hanya sekali dua kali. Banyak sekali kejadian seperti ini, apalagi ini bukan extraordinary crime (kejahatan luar biasa)," katanya.
Yasonna kembali mengatakan bahwa pemberian perubahan hukuman dari seumur hidup ke 20 tahun penjara ini karena terpidana sudah berubah baik.
"Jadi, jangan melihat sesuatu sangat politis, orang dihukum itu tidak dikasih remisi. Nggak muat itu Lapas kalau semua yang dihukum nggak pernah dikasih remisi," katanya.
Akhirnya, nama I Nyoman Susrama, pelaku pembunuhan terhadap Bagus Narendra Prabangsa, menjadi salah satu dari 115 terpidana yang mendapatkan remisi perubahan dari Presiden Joko Widodo. Susrama ditahan sejak 26 Mei 2009 atas tindakan pembunuhan terhadap Prabangsa pada 11 Februari 2009.
Awalnya, Susrama divonis hukuman penjara seumur hidup, namun setelah mendapatkan remisi perubahan tersebut, maka hukumannya menjadi 20 tahun penjara. Sekarang, usia terpidana sudah hampir 60 tahun.
Pertimbangan untuk pemberian grasi memang bisa sangat politis, namun bila pemberian remisi akan berbeda acuannya, karena remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan juga "Anak" Yang Berkonflik dengan Hukum (ABH) yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Syarat pemberian remisi bagi Narapidana adalah berkelakukan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 bulan.
Bukti berkelakuan baik adalah tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian remisi; dan telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dengan predikat baik. Pembuktian ini melalui proses yang panjang.
Dengan demikian, pemberian remisi perubahan menjadi 20 tahun itu sesungguhnya tidak terlalu jauh dari vonis hukuman seumur hidup, bila dikaitkan dengan umur terpidana saat ini.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut, pemberian remisi perubahan menjadi 20 tahun itu sesungguhnya tidak terlalu jauh dari vonis hukuman seumur hidup, bila dikaitkan dengan umur terpidana saat ini.
"Umumnya, hukuman seumur hidup itu hampir sama dengan 20 tahun, itu juga umurnya sekarang berapa? Ya kita tidak mendahului takdir Tuhan, tapi memang tidak jauh-jauh dari itu, 20 tahun itu seumur hidup juga," kata JK.
Namun, JK berterima kasih kepada AJI atas kritiknya, karena pemerintah tanpa kritik itu bukanlah pemerintah.
Baca juga: Pembunuh Wartawan Dituntut 2,5 Tahun Penjara
Baca juga: Almarhum Prabangsa Dinobatkan Pahlawan Jurnalistik
Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019