• Beranda
  • Berita
  • Nasaruddin Umar Office berdiri untuk stop potensi radikalisme

Nasaruddin Umar Office berdiri untuk stop potensi radikalisme

26 Januari 2019 22:01 WIB
Nasaruddin Umar Office berdiri untuk stop potensi radikalisme
Direktur Nasaruddin Umar Office (NUO) yang juga Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar saat meresmikan NUO di Cilandak, Jakarta, Sabtu (26/1/2019). (Antara/Virna P Setyorini)

Temuan kami di 2011, ada kekhawatiran tingkat pertumbuhan hardliners semakin bertambah. Dan kami tahu provinsi mana saja, meskipun rasanya mengherankan tapi ya itu hasilnya

Jakarta (ANTARA News) - Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar di Jakarta, Sabtu, meresmikan Nasaruddin Umar Office (NUO) yang bergerak menyetop potensi radikalisme berkembang di Indonesia. 

“Temuan kami di 2011, ada kekhawatiran tingkat pertumbuhan hardliners semakin bertambah. Dan kami tahu provinsi mana saja, meskipun rasanya mengherankan tapi ya itu hasilnya,” kata Nasaruddin. 

Dari survei 2017, ia mengatakan potensi radikalisme di Indonesia mencapai 55,12 persen. “Harus ada upaya untuk mencoba mengerem pertumbuhan ini, karena dari tahun ke tahun kurvanya meningkat”.

Nasaruddin menyebut Gorontalo, Bengkulu, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Utara masuk kategori memprihatinkan. Sedangkan Sulawesi Tengah berada diurutan bawah, sehingga diperkirakan justru pendatang yang membawa bibit radikalisme sedangkan penduduk aslinya toleran. 

“NUO ingin memberikan pemikiran untuk bangsa ini, sekecil apapun diharapkan bisa menghadirkan sebuah ketenangan, kesejukan dan kedamaian untuk segenap warga negara,” ujar dia. 

NUO mewadahi lembaga-lembaga yang bertujuan menciptakan masyarakat sipil yang damai, tolera dan berkeadaban. Beberapa di antaranya The Nusa Institute, Balqis Foundation dan Pondok Pesantren Al-Ikhlas.

Survei 2018, ia mengatakan pihaknya menemukan kearifan lokal justru menjadi daya perekat sekaligus kontrol dan modal menangkal radikalisme. Banyak hal bisa menangkal tapi justru kearifan lokal sangat penting. 

“Tapi masalahnya pengetahuan tentang kearifan lokal ini dalam fase kritis. Anak-anak milenial, karena mungkin sangat plural, sudah tidak paham,” lanjutnya. 

Ini, menurut dia, menjadi tantangan, bagaimana kearifan lokal dapat diangkat lagi ke permukaan. Memang ada kurikulum konten  lokal, tapi sangat sedikit. 

“Kami sarankan ini diperkuat,” ujar Nasaruddin yang juga merupakan Direktur NUO. 

Selain itu ada pembinaan khatib dan imam masjid profesional, mengingat kekosongannya  dapat menjadi celah bagi masuknya radikalisme ke masjid-masjid. Fokus selanjutnya adalah memberdayakan situs Islam moderat “Rukun” untuk menangkal situs-situs Islam radikal, mengingat 80 persen situs ternyata dikuasai oleh kelompok radikal. 

Terakhir NUO juga memiliki program yang akan menjaring kalangan menengah atas untuk turut dalam kajian-kajian mereka. Banyak dari mereka merupakan pemilik perusahaan yang membawahi banyak karyawan, maka dampaknya akan terasa, karena akan ditularkan kepada pekerjanya tersebut, kata Nasaruddin. 

Menurut dia, sebuah program dengan metode pembelajaran yang dipercaya  dapat diterima oleh kalangan ini. “Mereka ingin belajar agama tapi tidak mau digurui, karenanya harus dialogis”.

Sejumlah pejabat turut hadir pada peresmian NUO, di antaranya Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama (Kemenag) Kamaruddin Amin, Dirjen Bimas Islam Kemenag Muhammadiyah Amin, perwakilan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristedikti), serta tokoh lintas agama. 

Baca juga: Imam Besar Istiqlal: masjid hati-hati berikan informasi

Baca juga: Zakat wujudkan keadilan sosial bendung radikalisme


 

Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019