Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyarankan agar pemerintah mengalokasikan lebih banyak dana anggaran bagi tim negosiasi atau perunding dalam menghadapi protes atau wacana proteksionisme atau pembatasan impor produk Indonesia dari negara-negara lain.Kalau tidak segera ditangkal proteksionisme ini, hal tersebut kita khawatirkan dapat menyebar ke negara-negara ASEAN lainnya dan meluas ke negara-negara tujuan ekspor minyak kelapa sawit.
"Pemerintah seharusnya mengalokasikan lebih banyak dana atau anggaran pada tahun 2019 ini bagi tim negosiasi atau perunding. Jadi kalau ada riak-riak negara lain protes terhadap produk Indonesia, kita harus cepat tanggap dengan memiliki tim (negosiasi) yang solid," ujar Bhima kepada wartawan di Jakarta, Senin.
Dia menjelaskan bahwa selama ini kekurangan dari ekspor yakni kinerja dari tim perundingan atau negosiasi yang dianggap masih lemah, dinilai kemungkinan karena anggarannya yang kurang.
Menurut Bhima, kendati ekspor sawit Indonesia ke Filipina relatif kecil dan wacana kemungkinan negara tersebut membatasi impor minyak kelapa sawit Indonesia, pemerintah Indonesia sebaiknya menyikapi berlanjutnya gelombang proteksionisme terhadap sawit sejak negara-negara seperti India, Amerika Serikat dan Eropa memberlakukan pembatasan impor minyak kelapa sawit pada tahun lalu.
"Kalau tidak segera ditangkal proteksionisme ini, hal tersebut kita khawatirkan dapat menyebar ke negara-negara ASEAN lainnya dan meluas ke negara-negara tujuan ekspor minyak kelapa sawit," ujarnya.
Bhima menilai akar masalah dari pembatasan impor minyak kelapa sawit dari Indonesia oleh negara lain-lain bermula dari kebijakan pembatasan yang diberlakukan oleh Eropa, kemudian diikuti oleh Amerika Serikat, India dan terakhir kemungkinan akan diberlakukan oleh Filipina.
"Makanya kita harus berhati-hati, kalau ada riak-riak proteksi sedikit maka kita harus melakukan pendekatan, jangan sampai terlambat," tuturnya usai forum diskusi bertema "Ekonomi Indonesia Pasca Pemilu Presiden 2019".
Beberapa waktu lalu, pemerintah Filipina melalui Menteri Pertaniannya Emmanuel "Manny" Fantin Pinol melontarkan wacana untuk menghambat impor minyak kelapa sawit atau crude palm oil dari Indonesia, dengan memberikan tarif tinggi terhadap hal tersebut.
Menteri Pertanian Filipina tersebut beralasan bahwa wacana pembatasan itu sebagai upaya mencegah produk minyak kelapa sawit Indonesia yang membanjiri pasar lokal mereka.
Baca juga: HSBC: prospek ASEAN menjanjikan di tengah proteksionisme
Pewarta: Aji Cakti
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019