"Kearifan lokal evakuasi tsunami seperti di Aceh ada smong, perlu dibangun terus. Sebab, kearifan lokal merupakan cara efektif evakuasi tsunami," katanya di Banda Aceh, Rabu.
Tahun 2004, saat tsunami menghantam pinggiran Samudera Hindia, meluluhlantakkan Aceh dan merenggut ratusan ribu nyawa, sebagian besar warga Pulau Simeulue selamat berkat tradisi lisan mereka mengenai kedatangan gelombang besar pada masa lalu.
Cerita turun temurun mengenai kedatangan tsunami, yang mereka sebut smong, tentang bagaimana satu desa tenggelam setelah gempa datang disusul ombak besar, dan peringatan untuk segera mencari tempat tinggi saat gempa kuat datang disusul surutnya air laut, membuat mereka mengenali tanda-tanda kedatangan bencana dan siaga menyelamatkan diri.
Dwikorita mengatakan pembangunan kearifan lokal semacam itu bahkan lebih efektif dalam upaya antisipasi dampak tsunami ketimbang penggunaan teknologi peringatan dini.
Ia mengatakan kecepatan penyampaian informasi bencana dalam sistem peringatan dini tsunami sekarang berkisar tiga hingga lima menit, yang tercepat di Jepang dengan tiga menit.
Namun, potensi tsunami malah ada yang datang dalam dua menit. Jadi, teknologi yang ada belum mampu menandingi potensi tsunami tersebut, kata Dwikorita.
"Seperti di pantai barat Pulau Sumatra, kecepatan potensi tsunaminya bisa kurang dari dua menit. Kalau mengacu pada teknologi, tentu evakuasi masyarakat tidak berjalan," katanya.
Namun kalau kearifan lokal dalam mitigasi bencana sudah terbangun, warga bisa dengan cepat mengenali tanda-tanda bencana dan siaga menyelamatkan diri.
"Seperti smong di Aceh berhasil menyelamatkan banyak warga ketika terjadi tsunami akhir 2004. Jadi, kearifan lokal seperti terus dibangun," demikian Dwikorita Karnawati.
Baca juga:
Pemerintah rencanakan penanaman Pohon Pule sebagai penahan tsunami
Trenggalek latih warga pesisir menjadi kader tanggap tsunami
Pewarta: M.Haris Setiady Agus
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019