"Kita menolak penetapan `land use planning` bila tidak ada rencana mikro-zonasi. Sebab itu berpotensi pada timbulnya masalah hak keperdataan dan mitigasi bencana," ujar Sekjen Pasigala (Palu Sigi Donggala) Centre Andika di Palu, Rabu.
Karena itu, kata Andhika, Pasigala Centre menolak rehabilitasi dan rekonstruksi di wilayah Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong tanpa ada peta mikro zonasi dan penanda titik rawan bencana secara spesifik.
Menurut dia, penetapan zonasi dengan kategori tingkat kerawanan, berdasarkan indeks berbasis warna, itu telah menciptakan keresahan di tingkat masyarakat termasuk warga yang terdampak langsung bencana gempa, tsunami dan likuifaksi.
Selain itu, peta dengan skala 1:250.000, bagi dia, belum detail. Yang dibutuhkan, urai dia, mikro zonasi dalam peta skala 1:5.000, sehingga bisa lebih detail.
"Kita butuh peta dengan skala yang lebih detail, menjelaskan posisi kerawanan. Misalnya lokasi potensi likuifaksi yang tidak boleh dibangun, rawan longsor, patahan, tsunami dan lain-lain. Bukan indeks warna makro yang tidak informatif seperti sekarang ini," sebut Andika.
Peta yang digunakan dalam penanggulangan pascabencana Sulteng saat ini, bagi Pasigala Centre, tidak memberikan informasi yang detail kepada masyarakat.
Selain itu, Andhika mengutarakan, penjelasan tingkat kerawanan itu tidak boleh hanya sekedar berakhir pada informasi peta.
Tetapi, sebut dia, harus ada proses diskusi intensif dan massif melibatkan ahli geologis, pakar hukum, dan perencana untuk menjelaskan pada warga korban untuk menemukan solusi terbaik dan diimplementasikan.
"Peta dengan skala yang lebih kecil merupakan kebutuhan mendesak. Jadi kami menolak penetapan land use planning tanpa itu," tegas Andhika.
Baca juga: Kementerian PUPR targetkan hunian bagi korban bencana Sulteng rampung Februari 2019
Baca juga: Kemensos kembali salurkan Rp2,9 miliar bantuan ke Sulteng
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019