"Saat semester kedua berlanjut di Negara Palestina, kami sangat prihatin dengan banyaknya laporan mengenai peristiwa campur-tangan di berbagai sekolah atau di dekatnya di Tepi Barat Sungai Jordan sejak awal tahun ajaran," kata Koordinator Kemanusiaan Jamir McGoldrick, Wakil Khusus UNICEF Geneieve Boutin dan UNESCO di dalam satu pernyataan bersama.
"Peristiwa ini mempengaruhi akses aman anak-anak ke pendidikan. Peristiwa campur-tangan di sekolah oleh Pasukan Israel, pembongkaran, ancaman pembongkaran, bentrokan di jalan menuju sekolah antara pelajar dan pasukan keamanan, guru dihentikan di pos pemeriksaan, dan aksi kekerasan oleh pasukan Israel serta pemukim Yahudi dalam beberapa peristiwa, mempengaruhi akses ke lingkungan pendidikan yang aman dan hak bagi pendidikan yang berkualitas buat ribuan anak Palestina," kata mereka.
"Dari Januari sampai Desember 2018, PBB mendokumentasikan 111 campur-tangan pada pendidikan di Tepi Barat yang mempengaruhi 19.196 anak, rata-rata lebih dari dua pelanggaran setiap pekan. Lebih separuh dari peristiwa yang diabsahkan melibatkan peluru aktif, gas air mata dan granat kejut yang ditembakkan ke dalam atau dekat sekolah oleh Pasukan Israel. Semua itu mempengaruhi pelaksanaan belajar-mengajar atau melukai pelajar. Hampir dua-pertiga dari semua peristiwa campur-tangan yang disahkan di berbagai sekolah di Tepi Barat terjadi selama empat bulan terakhir 2018," kata mereka, sebagaimana dikutip Kantor Berita Palestina, WAFA --yang dipantau Antara di Jakarta, Jumat pagi.
Baca juga: NGO: Israel tangkap 900 anak Palestina tahun ini
Baca juga: Berenang digunakan di Gaza untuk obati luka trauma anak perempuan
Para pejabat PBB itu menambahkan, "saat ini, sebanyak 50 sekolah di Tepi Barat, termasuk di Al-Quds (Jerusalem) Timur, menghadapi ancaman pembongkaran. Pada 2018, lima sekolah di Tepi Barat dibongkar atau disita oleh penguasa Yahudi, termasuk Sekolah Masyarakat Izbiq di sebelah utara Nablus, Sekolah As-Semeye di selatan Al-Khalil (Hebron), dan Sekolah Abu Nuwar serta Sekolah Jabel Baba di Al-Quds Timur. Selain itu, sejak pertengahan Oktober 2018, Sekolah Sawiya Al-Luban di selatan Nablus juga ditutup selama satu hari, dan Sekolah Desa Khal Al-Ahmar di selatan Al-Quds tetap menghadapi ancaman pembongkaran, bersama dengan bagian lain desa tersebut.
Sekolah Menengah Orief khusus anak lelaki di dekat Nablus juga telah dipaksa ditutup dua kali akibat kekerasan oleh pemukim Yahudi, dan anak-anak dari sekolah itu telah dirawat di rumah sakit karena bermacam luka, termasuk luka tembak.
Di Area H2 di Al-Khalil, gas air mata biasa digunakan di pos pemeriksaan sehingga membuat murid dan guru terpajan kekerasan --di satu sekolah yang sangat terpengaruh di H2, lebih dari 20 peristiwa semacam itu dicatat pada 2018."
Mereka juga mengatakan, "Selama peningkatan aksi militer dari 11 sampai 13 November, sekolah di Jalur Gaza dan di Israel Selatan ditutup selama satu hari, termasuk empat sekolah di Jalur Gaza yang mengalami kerusakan kecil, dan satu pusat pendukung pendidikan serta satu taman kanak-kanak yang, keduanya, rusak parah."
Para pejabat PBB tersebut mengatakan, "Sekolah mesti dihormati sebagai tempat belajar, aman dan stabil. Ruang kelas mesti menjadi tempat perlindungan dari konflik, tempat anak-anak bisa belajar dan berkembang menjadi warga yang aktif."
"Anak-anak tak boleh pernah dijadikan sasaran kekerasan dan tak boleh terpajan pada setiap bentuk kekerasan," kata mereka.
Baca juga: SADAQA himpun orangtua asuh untuk anak Palestina
Baca juga: Israel larang buku sekolah Palestina masuk Gaza
Redaktur: Maria D. Andriana
Pewarta: Antara
Editor: Chaidar Abdullah
Copyright © ANTARA 2019