13 PMI NTT meninggal selama Januari 2019

4 Februari 2019 08:49 WIB
13 PMI NTT meninggal selama Januari 2019
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Kemanusiaan (AMPK), berunjukrasa di Kantor Gubernur NTT, Kota Kupang, NTT, Senin, (14/1/19). AMPK memprotes pencegahan keberangkatan seorang mahasiswi asal Kabupaten Alor oleh Satgas Perdagangan Orang di Bandara El Tari karena menduga mahasiswi bernama Selfiana Etidena yang kuliah di Yogyakarta itu adalah korban perdagangan orang. ANTARA FOTO/Kornelis Kaha/wsj. (Antara Foto/Kornelis Kaha)
Kupang (ANTARA News) - Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia mencatat, selama Januari 2019, sudah 13 orang Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Nusa Tenggara Timur (NTT) yang meninggal dunia.

"Sampai hari ini, jumlah Pekerja Migran Indonesia asal NTT yang pulang dalam kondisi meninggal ke NTT sudah menjadi 13 jenazah," kata Direktur

Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia, Gabriel Goa kepada Antara melalui pesan WhatsApp, Senin terkait PMI asal NTT.

Menurut dia, hal penting yang harus dilakukan adalah Pemerintah Provinsi NTT perlu segera melakukan pendataan terhadap seluruh PMI asal NTT yang bekerja di luar negeri, baik yang berangkat secara prosedural maupun non prosedural.

Pendataan ini penting dilakukan, untuk mengetahui jumlah PMI yang berada di luar negeri.

"Data ini penting agar bisa dicarikan solusi secara bersama-sama, termasuk membangun komunikasi dengan pemerintah negara tempat PMI bekerja untuk memberikan perlindungan kepada PMI kita," katanya.

Kedua, Pemerintah dan DPRD NTT perlu segera memanggil Kapolda, Kajati, Ketua Pengadilan Tingi beserta semua Kapolres, Kajari dan Ketua PN se-NTT untuk membahas tentang penegakan hukum.

Artinya, tindak pidana perdagangan orang (TPPO) harus dilakukan secara sungguh-sungguh dan jangan sampai ada "kongkalikong" dengan pelaku perdagangan orang dan aktor intelektualis TPPO, katanya.

Langkah ketiga adalah, pemerintah harus mengoptimalkan layanan terpadu satu atap (LTSA) di Tambolaka, Sumba Barat Daya, di Kupang dan di Maumere.

Ke-empat, melibatkan lembaga-lembaga agama, lembaga pendidikan, vokasi dan perusahaan-perusahan untuk membangun BLK dan melatih secara serius SDM NTT yang memiliki keterampilan khusus, termasuk mampu berbahasa Inggris, Mandarin, Korea, Jepang dan bahasa-bahasa negara-negara yang menjadi tujuan PMI asal NTT.

Ia mengatakan hanya dengan upaya-upaya ini, bisa meminimalisir kasus perdagangan orang, sekaligus menghindari jatuhnya korban jiwa lebih banyak, kata Gabriel.

Baca juga: Kasus perdagangan orang meningkat pada 2018
Baca juga: NTT bentuk satgas desa cegah perdagangan orang

Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019