Menyikapi RUU permusikan

5 Februari 2019 20:49 WIB
Menyikapi RUU permusikan
Musisi sekaligus anggota DPR Anang Hemansyah (kedua kanan), didampingi penyanyi Glenn Fredly (tengah) menghadiri diskusi terkait RUU Permusikan di Jakarta, Senin (4/2/2019). Sebelumnya, RUU Permusikan mendapat penolakan dari ratusan pelaku musik yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan karena RUU tersebut dinilai tidak memiliki urgensi dan justru berpotensi merepresi para musisi. (ANTARA FOTO/Dede Rizky Permana/hp.)
Perdebatan hangat mencuat dalam beberapa hari terakhir dalam menyikapi Rancangan Undang-Undang tentang Permusikan.

Di satu sisi, para penggagas RUU ini menilai pentingnya ada undang-undang yang khusus mengatur mengenai permusikan nasional. Di sisi lain, ada yang keberatan profesinya diatur.

Sebagian musisi menyatakan keberatan mereka terhadap sertifikasi dan uji kompetensi bagi musisi yang di RUU ini terkesan wajib. Padahal sertifikasi musik umumnya bersifat opsional, bahkan lembaga sertifikasi musik yang adapun biasanya tidak memaksa pelaku musik.

Selain itu, pasal-pasal terkait uji kompetensi ini berpotensi mendiskriminasi musisi autodidak untuk tidak dapat melakukan pertunjukan musik jika tidak mengikuti uji kompetensi. Sebagian dari mereka menilai ada sejumlah pasal yang perlu dikaji ulang sebelum akhirnya disetujui untuk disahkan.

Pengamat musik Aldo Sianturi mencontohkan pasal 32 Ayat 1 mengenai uji kompetensi musisi. Pasal ini bila nantinya berlaku maka akan menyulitkan musisi otodidak.

Secara khusus pasal ini mengharuskan pelaku industri musik yang diakui adalah mereka yang berasal dari jalur pendidikan. Kalaupun mereka belajar otodidak, maka harus mengikuti uji kompetensi.

Mengenai uji kompetensi musisi, bagi dia masih terlampau dini untuk Indonesia mengaplikasikan hal ini untuk musisi otodidak. Itulah sebabnya, secara umum isi draf RUU ini membatasi para seniman berkreasi karena harus tunduk pada batasan, padahal kerja seniman tak perlu pembatasan.

Isi draf RUU ini dinilai membatasi kebebasan mencipta para seniman dan mengatur agar tunduk kepada batasan. Sementara seniman itu orang pandai dan punya self-censorship yang naluriah. Jadi, tidak perlu dikekang.

Aldo menekankan RUU Permusikan sebaiknya dikaji ulang dan tidak dulu disahkan jika musisi Tanah Air masih mengajukan protes.

Selama cuitan musisi di media sosial tidak berhenti memprotes draf RUU, sebaiknya dikaji ulang dengan transparansi dan jangan ada pengesahan sepihak sama sekali. Efeknya kurang baik bagi perjalanan dan perjuangan musisi Indonesia.

Salah satu penggagas RUU Permusikan yang juga anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah kemudian bereaksi dan menyampaikan tanggapan atas sikap sebagian musisi dalam menyikapi RUU ini.

Tanggapan Anang disampaikan secara kronologi mengenai kelahiran RUU Permusikan. Proses panjang itu kini menempatkan RUU Permusikan telah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2019.

Menurut Anang Hermansyah, sejumlah kritik dari publik umumnya menyangkut soal substansi materi yang tertuang dalam RUU Permusikan. Kritik dan tanggapan publik atas RUU Permusikan cukup positif.

Karena itu dia bersyukur atas respons dan kritik terhadap RUU Permusikan. Ini berarti ada kepedulian dari pihak terkait (stakeholder) atas keberadaan RUU ini..



Pembajakan

Anang menyebutkan kronologi keberadaan RUU Permusikan. RUU ini bermula dari Kaukus Parlemen Anti Pembajakan yang ia inisiasi bersama politisi lintas fraksi.

Kaukus ini dibentuk pada enam bulan pertama saat menjadi anggota DPR, tepatnya pada Maret 2015. Saat itu kaukus keliling ke berbagai pihak.

Mulai Presiden, Kapolri, Jaksa Agung termasuk on the spot ke Glodok terkait dengan pemberantasan pembajakan di ranah musik. Dalam perjalanannya, efektivitas patroli pemberantasan bajakan oleh aparat kepolisian tidak efektif di lapangan.

Kondisi tersebut memunculkan ide urgensi regulasi terkait dengan eksistensi musik di Indonesia. Berawal dari masukan dan diskusi dengan melibatkan banyak pihak memunculkan ide.

Ide-ide itu mengarah pada kesimpulan dibutuhkan regulasi berupa RUU Tata Kelola Musik. Namun pada akhirnya nomenklatur yang dipilih adalah RUU Permusikan.

Pada pertengahan 7 Juni 2017, komunitas musisi dan pihak terkait yang tergabung dalam Kami Musik Indonesia (KAMI) datang ke Badan Legislasi (Baleg) DPR mengusulkan keberadaan regulasi di bidang musik. Saat itu, 10 fraksi di DPR bulat mendukung keberadaan RUU Permusikan.

Tidak hanya mendukung, DPR berkomitmen sebagai pihak yang menginisiasi RUU Permusikan. Momentum itu membuktikan, musik menyatukan sekat-sekat perbedaan politik.

Setahun berikutnya, perjalanan RUU Permusikan mengalami kemajuan. Kala itu memunculkan diskusi apakah RUU Permusikan muncul dari Komisi X atau dari Baleg DPR RI.

Seiring keberadaan UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) Pasal 105 ayat (1) huruf d yang isinya memberikan kewenangan kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk mengusulkan sebuah RUU. Sebelumnya, kewenangan mengajukan RUU hanya dimiliki komisi, anggota DPR dan DPD RI.

Akhirnya RUU Permusikan diusulkan oleh Baleg melalui Badan Keahlian Dewan (BKD) yang terdiri atas para ahli dan birokrat DPR BKD meminta pendapat dari berbagai pihak terkait dengan materi yang terkandung dalam RUU tersebut.

Meski tentu tidak semua pihak diminta pendapat dan masukan. Maklum saja, itu baru draf atau baru rancangan.



Inisiatif

RUU Permusikan tertanggal 15 Agustus 2018 yang saat ini beredar di publik merupakan usulan inisiatif DPR yang berasal dari BKD DPR RI. Draf RUU ini kemudian diusulkan secara resmi oleh Baleg DPR RI sebagai inisiatif DPR dalam sidang paripurna DPR pada 2 Oktober 2018. DPR bertekad menyelesaikan RUU ini tahun sebelum berakhir masa bakti pada 1 Oktober 2019.

Menurut musisi asal Jember ini, penyampaian kronologi perjalanan RUU Permusikan ini penting disampaikan agar publik mengetahui secara detail proses perjalanan sebuah RUU. Jika dicermati, perjalanan RUU Permusikan ini tergolong cepat.

Dia melihat kuncinya terletak pada kesamaan ide antara pihak terkait dunia permusikan bersama DPR RI. Secara teori, ini tidak mudah, karena DPR merupakan lembaga politik, tapi kenyataannya semua dimudahkan.

Adapun terkait dengan materi RUU Permusikan yang saat ini menimbulkan respons dari publik, Anang justru menyambutnya dengan positif. Ini sungguh senang.

Saat ini semua pihak berkomentar atas materi RUU ini. Partisipasi masyarakat memang menjadi unsur penting dalam pembuatan sebuah UU, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Sejumlah materi yang dikritisi oleh sejumlah pihak di antaranya yang tertuang di Pasal 5 RUU Permusikan yang dinilai akan mengekang kreativitas para musisi dan dinilai sebagai pasal karet. Dia bisa memahami kegelisahan teman-teman terkait dengan pasal 5 RUU Permusikan ini.

Hal itu bisa didiskusikan dengan kepala dingin. Hanya saja, dalam pembuatan sebuah UU yang baik, harus berlandaskan pada tiga landasan, yakni landasan filosofis, yuridis dan sosiologis.

Isu kebebasan berekspresi yang disandingkan dengan norma di Pasal 5 harus dikembalikan pada ketentuan tentang HAM sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

Isu kebebasan bereskpresi dan berpendapat, pada akhirnya dihadapkan pada Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 bahwa kebebasan itu dibatasi dengan UU yang mempertimbangkan nilai moral, agama, keamanan dan ketertiban umum dalam bingkai negara demokrasi.

Kendati demikian, Anang juga memiliki catatan terkait Pasal 5 RUU Permusikan, khususnya di huruf f yang isinya "membawa pengaruh negatif budaya asing". Dalam penilaiannya, ketentuan ini yang justru berpotensi menjadi pasal karet karena tidak jelas ukuran yang dimaksud.

Adapun terkait dengan persoalan uji kompetensi dan sertifikasi, Anang menyebutkan isu tersebut semata-mata untuk menjadikan profesi ini mendapat penghargaan dan perlindungan oleh negara.

Belum lagi syarat sertifikasi yang harus dimiliki jika musisi hendak tampil di pentas internasional. Tapi apapun masukan dari pihak terkait sangat berarti dalam proses pembahasan RUU ini.

Persoalan sertifikasi telah menjadi kebutuhan merujuk keberadaan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang merupakan hasil ratifikasi dari Regional Model Competency Standard (RMCS) dari International Labour Organization, Organisasi Buruh Internasional di bawah PBB.

Memang tampak absurd mengukur karya seniman dan musisi melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Namun, globalisasi dan perdagangan bebas menuntut situasi seperti ini, dan semua itu harus didiskusikan lebih detail kembali.*


Baca juga: Pro-kontra sertifikasi musik di kalangan musisi

Baca juga: Tanggapan Anang Hermansyah soal kritikan Jerinx


 

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019