Jakarta (ANTARA News) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menyatakan, kasus malnutrisi ganda, baik kekurangan maupun kelebihan nutrisi, merupakan ancaman dari potensi bonus demografi yang seharusnya memberikan banyak manfaat bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.Malnutrisi membawa dampak negatif, tidak hanya pada hidup si anak, tapi juga pada potensi bonus demografi
"Malnutrisi membawa dampak negatif, tidak hanya pada hidup si anak, tapi juga pada potensi bonus demografi yang akan dituai Indonesia," kata peneliti CIPS Assyifa Szami Ilman di Jakarta, Senin.
Untuk itu, ujar dia, permasalahan terkait malnutrisi ganda tersebut juga harus diselesaikan dan diatasi mulai sejak anak berada di dalam kandungan hingga pemenuhan gizi pada saat pertumbuhannya.
Ia mengingatkan, berdasarkan Riset Kesehatan pada 2013 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan, kasus malnutrisi pada anak seperti "stunting" (kerdil) dan "wasting" (kurus) masih berada dalam kondisi kronis dan akut mengingat dua kasus ini menimpa 37,2 persen dan 12,1 persen balita di Indonesia atau lebih dari sembilan juta balita. Kalau dibandingkan dengan kondisi di 2007, angka "stunting" berada pada 36,8 persen dan "wasting" berada pada 13,6 persen.
Di saat bersamaan, lanjutnya, kasus kelebihan nutrisi seperti obesitas di penduduk dewasa Indonesia juga mengalami peningkatan dari 13,9 persen (2007) ke 19,7 persen (2013) untuk laki-laki, serta 14,8 persen (2007) ke 32,9 persen (2013) untuk perempuan.
"Berbagai studi membuktikan bahwa kekurangan nutrisi yang terjadi saat balita berhubungan dengan peluang seseorang tersebut menjadi kelebihan nutrisi saat dewasa," ujarnya.
Mengutip contoh dari Bank Dunia, seorang ibu hamil dari keluarga prasejahtera tidak akan mampu memberikan nutrisi yang cukup bagi bayi yang sedang dikandung. Di dalam kandungan, tubuh bayi akan terprogram untuk bertahan hidup dengan kondisi gizi kurang. Bayi yang dikandung pun akhirnya akan lahir stunting, ungkap Ilman.
Menurut dia, anak yang lahir stunting acap kali dianggap sebagai suatu hal yang normal dan dikaitkan dengan peran genetik orang tua, sehingga kasus ini dan kasus malnutrisi pada umumnya dianggap hal yang wajar dan cenderung diabaikan.
Padahal, stunting tidak hanya memengaruhi kondisi fisik tapi juga perkembangan otak dan dalam jangka panjang berpengaruh pada menurunnya produktivitas.
Ketika tumbuh dewasa, lanjutnya, bayi yang awalnya sudah terprogram tersebut akan lebih mudah menjadi obesitas dan akhirnya rentan terhadap penyakit degeneratif seperti diabetes, hipertensi, stroke, dan jantung.
Penurunan produktivitas dan membengkaknya biaya kesehatan ini yang pada akhirnya akan semakin memberatkan taraf hidup masyarakat.
"Salah satu yang bisa dilakukan adalah mendorong terwujudnya harga pangan yang terjangkau di seluruh Indonesia. Makanan bernutrisi yang dibutuhkan akan menjadi percuma kalau tidak bisa dijangkau oleh masyarakat. Di sinilah peran harga pangan menjadi penting untuk diperhatikan pemerintah," ucapnya.
Dalam kaidah ilmu ekonomi, menurut dia, menurunkan harga komoditas dapat dicapai dengan meningkatkan jumlah barang yang ada di pasar karena selama ini, pemerintah masih kalang kabut dalam menyediakan data pangan yang benar, terutama beras dan jagung.
Baca juga: Pemerintah tambah dana ke daerah percepat penurunan "stunting"
Baca juga: Yogyakarta tuntaskan PR setelah kasus "stunting" turun
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019