Mataram (ANTARA News) - Penangkapan satwa dilindungi khususnya penyu hingga kini masih terjadi, termasuk di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Demikian juga perburuan dan perdagangan telur penyu juga relatif sulit dikendalikan.Penyu baru mulai bertelur pada usia 30-50 tahun
Kondisi ini akan mengancam populasi berbagai jenis penyu termasuk penyu hijau (Chelonia Mydas) yang banyak hidup di NTB. Perburuan telur penyu dan penangkapan secara ilegal menjadi ancaman serius bagi satwa dilindungi itu.
Penangkapan dan perdagangan penyu secara liar ini hingga kini masih terjadi. Ini terbukti pada 1 Juli 2018 Polresta Kota Bima yang berkoordinasi dengan Seksi Konservasi Wilayah (SKW) III Bima Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) NTB menangkap dua tersangka karena diduga memperdagangkan dan memiliki hewan dilindungi.
Barang Bukti yang diamankan adalah daging penyu segar sebanyak 13 boks seberat 800 kilogram, cangkang punggung penyu, cangkang dada penyu, dan sisik cangkang penyu sebanyak 14 kantong plastik.
Kondisi ini cukup memprihatinkan, karena ketika makin banyak penyu dibantai untuk komoditas perdagangan, ekosistem laut terganggu mengingat penyu termasuk rantai puncak makanan di padang lamun.
Jumlahnya yang makin sedikit membuat semua jenis penyu dilindungi karena terancam punah.
Karena itu berbagai upaya dilakukan untuk mencegah satwa langka itu dari ancaman kepunahan, antara lain dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga satwa dilindungi itu dengan menghentikan penangkapan penyu secara ilegal dan mencegah perburuan telur penyu.
Selan itu melakukan penangkaran atau koservasi penyu untuk selanjutnya hasil penangkaran dilepasliarkan ke habitatnya. Dengan cara ini diharapkan dapat menghindarkan penyu dari ancaman kepunahan.
Balai KSDA NTB bersama dengan "Kerabat Penyu Lombok", masyarakat setempat, dan wisatawan melepasliarkan sejumlah tukik jenis Penyu Hijau (Chelonia mydas) di Pantai Kuranji, Lombok Barat.
Kerabat Penyu Lombok merupakan komunitas binaan BKSDA NTB yang terdiri dari masyarakat setempat yang secara sukarela bersedia berkontribusi dalam usaha konservasi penyu di Kuranji sebagai salah satu Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Penyu di NTB.
Kepala Sub Bagian Tata Usaha BKSDA NTB, Lugi Hartanto mengapresiasi komitmen Komunitas Kerabat Penyu Lombok yang terus dipertahankan dalam kegiatan pelestarian penyu.
Sentra konservasi
Lugi menilai organisasi ini merupakan sentra konservasi penyu di luar kawasan konservasi. Aktivitas ini sungguh mulia karena telah berkontribusi pada lingkungan dan juga Negara.
Menurut dia, kalau dulu masih sangat sering menemukan telur penyu beredar di pasar, sekarang sudah mulai jarang.
Ini menunjukkan bahwa keberadaan komunitas ini mampu mengedukasi masyarakat sekitar terkait satwa dilindungi, khususnya penyu.
Sementara itu, Kerabat Penyu Lombok ini merupakan komunitas masyarakat yang non-profit. Hal inilah yang menjadi salah satu keluhan dari anggota komunitas dan masyarakat setempat yang memang berada di kelas ekonomi menengah ke bawah.
Kegiatan yang dilakukan oleh komunitas ini jelas tidak dapat dijadikan sebagai sumber mata pencaharian.
Penyu merupakan satwa dilindungi dan diatur dalam perundangan dan peraturan pemerintah yaitu UU No.5/1990 dan PP No.7/1999. Oleh karenanya, segala bentuk perdagangan dari setiap bagian dari Penyu, termasuk telurnya tidak diperkenankan.
Sebagai solusi, BKSDA NTB telah mengupayakan sistem insentif terhadap kegiatan patroli yang dilakukan oleh komunitas ini, sebagai bentuk apresiasi dalam usaha pelestarian penyu di luar kawasan konservasi.
Dalam konsevasi penyu itu BKSDA NTB tidak memaksakan harus menemukan telur berapa banyak setiap patroli, karena apresiasinya bukan pada jumlah telurnya melainkan terhadap jerih payah pelestarian penyu yang telah dilakukan komunitas.
Kepedulian pihak swasta dalam mencegah kepunahan penyu itu setidaknya dibuktikan oleh PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) dengan menggandeng masyarakat untuk mencoba melakukan konservasi penyu. Selain melakukan penangkaran, mereka juga membentuk kelompok peduli penyu.
Pada 12 Januari 2019 karyawan Amman Mineral Nusa Tenggara ( (Amman Mineral) melakukan pelepasan ratusan tukik penyu hijau (Chelonia Mydas) di Pantai Tropical Sekongkang, Sumbawa Barat.
Kegiatan ini merupakan salah satu inisiatif perusahaan dalam upaya melestarikan hewan langka yang dilakukan secara bersama-sama dengan masyakarat setempat.
Sejak 2005, lebih dari 47.400 ekor tukik telah dilepasliarkan ke habitat aslinya.
Daya tahan tukik yang dilepas ini tergantung cuaca dan kelihaian tukik menghindari predator laut. Biasanya dari ribuan tukik yang dilepas hanya beberapa persen yang diperkirakan hidup.
Ini biasanya ditandai dengan munculnya beberapa penyu dewasa di lepas pantai beberapa waktu kemudian. Artinya tukik-tukik itu telah melewati masa-masa sulit di awal pelepasannya.
Penyu termasuk jenis makhluk hidup yang perkembangan hidupnya lambat. Penyu baru mulai bertelur pada usia 30-50 tahun, dengan demikian untuk mencapai usia bertelur, penyu harus melewati masa sangat panjang dan menghadapi banyak sekali risiko kematian.
Jika tidak diupayakan kelestariannya, maka penyu akan terancam punah dari muka bumi ini.
Persoalan yang dihadapi selama ini masyarakat masih gemar memburu telur maupun penyunya untuk dikonsumsi. Karenanya PT Amman Mineral menggandeng masyarakat untuk mencoba melakukan konservasi penyu.
Selain melakukan penangkaran dengan membentuk kelompok peduli penyu, perusahaan tambang raksasa ini juga terus memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk menyisihkan sebagian telur penyu agar dapat ditetaskan menjadi tukik, tidak harus dikonsumsi semuanya.
Seiring perjalan waktu, masyarakat mulai sadar dan ikut berperan dalam melestarikan penyu tersebut. Sejatinya ini memberikan harapan upaya mencegah penyu dari ancaman kepunahan akan membawa hasil.
Baca juga: 31 penyu raksasa bertelur di Raja Ampat
Baca juga: Pejuang penyu di pesisir Sumatera
Pewarta: Masnun Masud
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019