Sastra Indonesia di LBF 2019

22 Februari 2019 19:36 WIB
Sastra Indonesia di  LBF 2019
Photo document of London Book Fair. (londonbookfair.co.uk)
Buku-buku karya penulis, pengarang dan penyair Indonesia kembali dipamerkan di pasar global, khususnya buat pembaca benua Eropa, lewat ajang bergengsi London Book Fair (LBF) 2019.

Empat tahun silam, buku-buku karya penulis Indonesia juga diberi ruang istimewa untuk dipamerkan dalam Frankfurt Book Fair (FBF) 2015. Saat itu Indonesia diundang oleh penyelenggara pameran sebagai Tamu Kehormatan.

Dalam LBF 2019, Indonesia mendapat kehormatan sebagai Market Focus Country, yang artinya kurang lebih adalah Indonesia menjadi fokus pasar transaksi buku, hak cipta, dan hak penerjemahan buku.

Untuk menyukseskan perhelatan itu, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan memfasilitasi kehadiran Paviliun Indonesia untuk memamerkan karya sastra dan nonfiksi penulis Indonesia.

Paviliun Indonesia akan menempati lokasi seluas 600 meter persegi di London Olympia Hammersmith Road, Kensington, London, mulai 11 sampai 15 Maret.

Semakin seringnya karya-karya penulis Indonesia ditampilkan di ajang internasional bergengsi seperti ajang pameran buku di Eropa, semakin terbukalah peluang bagi para penulis untuk melambungkan nama mereka di ranah global.

Berbeda dengan pameran buku internasional sebelum-sebelumnya, yang diikuti oleh Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) dengan lebih banyak membawa buku-buku karya pengarang Indonesia masa lalu yang sudah ternama seperti Pramoedya Ananta Toer, dalam LBF 2019, buku-buku yang ditulis oleh pengarang kontemporer dari generasi saat ini akan ditonjolkan.

Nama-nama sastrawan yang sudah tak asing lagi, bagi pecinta sastra Indonesia, seperti Seno Gumira Ajidarma, Eka Kurniawan, Ayu Utami, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu, Laksmi Pamuntjak, Faisal Oddang akan memajang karya-karya mereka di LBF 2019.

Bukan cuma sekadar memajang karya penulis Indonesia, LBF 2019 juga diisi dengan beragam diskusi dengan menghadirkan para penulis dan penerjemah serta pakar pemerhati sastra Indonesia.

Tema-tema yang akan diperbincangkan antara lain Sastra Indonesia sebagai Studi Kasus. Pada sesi yang akan berlangsung pada 12 Maret itu tampillah para pakar yang terdiri atas Chanwoo Park, Jerome Bouchard, Judith Ujterlinde dalam diskusi panel yang dipimpin Susan Harris.

Tema tentang Keberagaman Identitas Indonesia akan dibincangkan oleh penulis perjalanan Agustinus Wibowo, yang karyanya berkisah tentang pengembaraannya ke China, Afghanistan, Asia Tengah, Papua Nugini dan Suriname. Di tema ini, Faisal Oddang, sastrawan yang sering mendapat anugerah karena bakat menulisnya juga akan berbicara. Ambil bagian dalam tema ini adalah Will Harris, penulis berdarah campuran Anglo-Indonesia yang lahir dan tinggal di London. Harris menulis puisi dan kumpulan puisinya bertajuk Rendang akan terbit pada 2020.

Barangkali tema diskusi paling menarik dan menantang dalam ajang LBF 2019 ini adalah tentang Memori: Fakta dan Fiksi. Di tema ini sejarah politik yang represif, sarat kekerasan dan kompleks memberikan inspirasi baik bagi penulis Indonesia maupun penulis luar.

Seno Gumira Ajidarma menerbitkan dua fiksi tentang masa lalu Indonesia yang penuh onak di Timor Timur. Leila S. Chudori menulis pengalaman kaum eksil dan penculikan aktivis politik. Louise Doughty, penulis fiksi yang juga jurnalis, menulis tentang kengerian 1965.

Dalam panel diskusi tentang relasi fakta dan fiksi ini, ketiga penulis ternama itu akan menjawab pertanyaan apakah sastrawan punya kewajiban untuk menulis sejarah negerinya dan mengaitkannya dengan ingatan bersama sebuah bangsa.

Pada panel diskusi hari kedua, pegiat sastra sekaligus esais dan penyair terkemuka Goenawan Mohamad didampingi pegiat sastra Janet De Neefe dan Laura Prinsloo akan bicara tentang semakin maraknya usaha mempromosikan sastra lewat berbagai festival dan program dukungan jagat literer. Ini terjadi sejak kehadiran Indonesia di FBF 2015.

Promosi semacam itu dapat membantu menaikkan citra Indonesia sebagai sumber inspirasi yang kaya bagi penulis atau sastrawan. Panel diskusi yang dipimpin Claudia Kaiser ini diberi tajuk Dari Halaman Setempat menuju Pentas Dunia.

Tampaknya LBF 2019 ini menjadi panggung istimewa bagi Seno Gumira Ajidarma. Di hari kedua ini ada sesi wawancara Seno dengan Sian Cain, editor situs buku The Guardian. Seno termasuk sastrawan, esais dan pegiat kebebasan berekspresi. Seno menulis banyak fiksi satir di era Orde Baru. Ketika pers dibungkam, sastra harus bicara, itu adalah kredo kepengarangan penulis yang juga giat sebagai akademisi itu.

Ajang LBF 2019 yang menjadi pasar karya-karya kreatif penulis Indonesia bagi konsumen luar negeri itu juga memperbincangkan apa dampak pameran-pameran berskala internasional itu bagi masa depan sastra Indonesia; bagaimana reaksi penulis, penerjemah, dan penerbit menanggapi pembaca global yang menyimak sastra Indonesia itu. Akan tampil bicara dalam sesi ini adalah penerjemah karya-karya Indonesia ke bahasa Inggris John H. McGlynn, novelis Dewi Lestari, Laksmi Pamuntjak, Tiffany Tsao dan dipandu Liza Danton.

Pamor Indonesia di bidang sastra di tingkat internasional sebelumnya berpusat kepada kara-karya Pramoedya Ananta Toer yang menulis tetralogi Pula Buru. Karya-karya Pram sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa penting dunia.

Namun belakangan muncul nama baru seperti Eka Kurniawan yang melejit di pentas sastra dunia lewat novelnya bertajuk Man Tiger, yang meraih sejumlah anugerah sastra internasional.

Baca juga: 12 penulis Indonesia akan tampil di London Book Fair 2019
Baca juga: Indonesia jadi Market Focus di London Book Fair 2019



 

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019