Konflik gajah dan manusia di Aceh Utara

23 Februari 2019 08:52 WIB
Konflik gajah dan manusia di Aceh Utara
Gajah jinak betina yang bernama Ida cidera akibat diserang kawanan gajah liar di Desa Negeri Antara, Kecamatan Pintu Rime, Bener Meriah, Aceh, Selasa (12/2/2019). (ANTARA FOTO/IRWANSYAH PUTRA)
Lhokseumawe (ANTARA News) - Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, juga merupakan salah satu wilayah konflik satwa gajah dengan manusia, namun belum ada laporan korban di kedua belah pihak.

Dibandingkan dengan daerah lain di wilayah Provinsi Aceh tentang konflik gajah dan manusia, di Aceh Utara, belum pernah terdengar ada yang menjadi korban. Baik manusia maupun gajah sendiri, ungkap Dedi Irvansyah Kepala Seksi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah I Lhokseumawe.

Di beberapa daerah lain dalam Provinsi Aceh, yang menjadi wilayah persebaran satwa yang dilindungi tersebut, ada korban dari pihak manusia yang disebabkan oleh gajah baik dengan cara diinjak atau dalam bentuk lain. Di pihak satwa gajah sendiri ada yang terbunuh karena diburu baik dengan cara diracun ataupun ditembak.

"Namun selama saya bertugas di KSDA wilayah I Lhokseumawe, belum pernah ada kasus atau laporan tentang korban manusia ataupun gajah di Aceh Utara. Padahal Aceh Utara juga memiliki kelompok gajah liar di hutan, sama dengan dengan daerah lain di Aceh," ujar Dedi.

Padahal di Aceh Utara juga ada konflik gajah-manusia yakni dengan kerusakan tanaman kebun milik masyarakat yang dilakukan oleh kawanan gajah. Akan tetapi tidak sampai jatuh korban jiwa.

Menurutnya, tidak ada korban jiwa baik manusia ataupun gajah sendiri di Aceh Utara dikarenakan tidak ada yang memulainya. Sehingga tidak ada yang menjadi korban, apalagi gajah merupakan satwa yang memiliki insting kuat dan menandai sesuatu dalam hidupnya.

"Gajah itu satwa yang instingnya sangat kuat dan akan membalas bagi siapa yang pernah menyakitinya termasuk manusia. Bagi manusia yang pernah menyakitinya jangan pernah masuk hutan, jika ditemui oleh gajah atau kawanannya yang pernah disakitinya maka akan dibalas," ungkap Dedi.

Terkait korban manusia yang disebabkan oleh satwa berbelalai ini pernah terjadi dibeberapa daerah di Provinsi Aceh, seperti di kawasan Bener Meriah, Aceh Barat dan kawasan Pidie. Sedangkan korban pada pihak gajah juga pernah terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh Timur dan Bener Meriah baik dengan cara diracun maupun dengan cara ditembak.

Kembali ke Aceh Utara, terkait penanganan gangguan satwa dilindungi tersebut yang memangsa tanaman petani, oleh masyarakat petani masih dilakukan dengan cara-cara yang tidak menyakiti satwa tersebut dan masyarakat petani sudah mengerti karakter satwa tersebut sehingga tidak ada yang pernah disakiti oleh gajah.

"Jika, gangguan akibat gajah, di Aceh Utara sama juga dengan daerah lain. Yakni, tanaman perkebunan menjadi sasarannya. Akan tetapi di Aceh Utara penanganan gajah yang masuk ke kebun masyarakat itu dilakukan dengan membunyikan meriam karbit ataupun mercon, sebagai upaya menghalau agar gajah-gajah yang terlanjur bermain ke kebun petani untuk kembali ke hutan," katanya.

Sementara itu, mengenai kerusakan tanaman petani di wilayah Aceh Utara sendiri berdasarkan data terakhir dari Dinas Perkebunan dan Peternakan dan Kesehatan Hewan Aceh Utara menyebutkan, bahwa ribuan batang tanaman perkebunan seperti sawit, kelapa dan juga pinang dirusak oleh gajah, tepatnya di kawasan Krueng Baree, Kecamatan Simpang Kramat.

"Jenis tanaman yang sering dirusak, pinang, sawit dan kelapa yang masih berusia muda. Hal itu dikarenakan selain mudah dijangkau juga jaringan tanamannya masih segar, sehingga sangat disukai dan menjadi makanan satwa tersebut," ungkap Muslim Kasi Perlindungan dan Pengembangan Tanaman beberapa waktu lalu.

Sementara itu, sebagaimana dikatakan oleh Kepala KSDA Wilayah I Lhokseumawe tersebut, bahwa alasan gajah yang terbunuh merupakan bagian dari buruan. Hal itu didasarkan pada hilangnya gading pada gajah. Seperti diketahui, gading merupakan salah satu bagian dari tubuh gajah yang sangat berharga.

Jika dibeberapa tempat didaerah lain yang memiliki laporan dan kasus terbunuhnya gajah disebabkan oleh motivasi berburu gading, lantas mengapa di Aceh tidak ada gajah yang terbunuh untuk diburu seperti di daerah lain. Dedi menjelaskan, bahwa kontur alam di Aceh Utara akan menjadi kendala bagi pemburu gading gajah. Hal itu berbeda dengan daerah lain yang banyak akses ke daerah lain.

"Bentuk alam wilayah Aceh Utara menjadi kendala tersendiri bagi pemburu, hal itu berbeda dengan daerah lain yang terkoneksi antara satu daerah dengan daerah lain dan mudah untuk keluar. Seperti Aceh Timur dapat tembus ke Bener Meriah, Aceh Tamiang dan juga ke Aceh Tengah," jelas Ka. Seksi KSDA wilayah I Lhokseumawe itu.

Mengenai jumlah kelompok gajah bervariasi di masing-masing daerah. Seperti di Aceh Timur terdapat sekitar 4 sampai dengan 5 kelompok gajah yang tersebar di hutan-hutan wilayah tersebut. Sedangkan di Aceh Utara terdapat 3 kelompok. Sementara Aceh Tengah, Bener Meriah dan Kabupaten Bireun diperkirakan sekitar 4 kelompok. Sementara di wilayah Pidie Jaya dan Kabupaten Pidie terdapat dua kelompok.

"Yang terpantau oleh kita di beberapa wilayah tersebut ada beberapa kelompok gajah. Dimana dalam satu kelompok berjumlah mulai dari 15 hingga 20 ekor lebih," ungkap Dedi.

Bahkan sebagaimana diungkapkan oleh Dedi, di wilayah Aceh Utara diperkirakan mulai muncul tiga kelompok. Hal itu didasarkan pada hasil pemantauan pada kelompok gajah yang berada di sekitar kawasan Cot Girek, Matangkuli hingga Kecamatan Langkahan. Apalagi dalam kelompok gajah di Aceh Utara dipasangi GPS Collar untuk memantau gerak dan aktivitas kelompok gajah di pedalaman hutan Aceh Utara.

Populasi Gajah Sumatera baik di wilayah utara dan timur maupun di wilayah barat dan selatan Provinsi Aceh, diperkirakan sekitar 800 ekor. Jumlah tersebut meningkat sekitar 10 persen dari tahun sebelumnya. Hal itu dikarenakan terlihat anak gajah didalam kelompoknya masing-masing.*


Baca juga: Kelompok gajah di Aceh tersebar di beberapa daerah

Baca juga: Ketika "Poe Meurah" tak lagi bersahabat dengan manusia


 

Pewarta: Mukhlis
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019