• Beranda
  • Berita
  • 70 persen upaya penurunan stunting di luar sektor kesehatan

70 persen upaya penurunan stunting di luar sektor kesehatan

28 Februari 2019 17:27 WIB
70 persen upaya penurunan stunting di luar sektor kesehatan
Peneliti LIPI Yuly Astuti (kedua kiri), Wawan Sujarwo (kedua kanan), dan Ahmad Fathoni (kanan) memberikan pemaparan dalam temu media tentang Hari Gizi Nasional di kantor LIPI Jakarta, Kamis (28/2/2019). ((ANTARA/Aditya Ramadhan))

Jakarta (Antara) - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengungkapkan 70 persen kontribusi dalam upaya penurunan masalah kekerdilan atau stunting berasal dari luar sektor kesehatan.

Peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Yuly Astuti mengatakan di Jakarta, Kamis, upaya paling besar dalam penurunan prevalensi stunting berupa intervensi gizi sensitif yang melibatkan berbagai sektor di luar sektor kesehatan, seperti ketahanan pangan, ketersediaan air bersih dan sanitasi, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan sebagainya. 

Sementara upaya yang telah dilakukan pemerintah dari sektor kesehatan seperti Kementerian Kesehatan dan Badan Kependudukan dan Keluarga  Berencana Nasional hanya berkontribusi sebesar 30 persen.

“Intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan di sektor kesehatan dan ditujukan kepada ibu hamil serta anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan. Namun, intervensi ini hanya berkontribusi sebesar 30 persen untuk penurunan stunting,” jelas Yuly.

Yuly yang melakukan penelitian di Mataram, Nusa Tenggara Barat terkait bayi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) yang kasusnya tinggi.

“Kota Mataram memiliki kasus stunting yang tinggi, yakni sebesar 37,8 persen. Salah satu penyebab tingginya stunting di Mataram ditengarai akibat bayi BBLR,” ujar Yuly.

Dirinya menerangkan, inovasi daerah yang dapat dijadikan rujukan untuk penanganan kasus BBLR ditemukan di Puskesmas Pejeruk, Mataram. “Pengelola Puskesmas memiliki inovasi berupa SIGAP BBLR dan Peduli Ibu Hamil Anemia (PIHA),” jelasnya.

Pelayanan kesehatan yang diberikan Puskesmas Pejeruk dilakukan melalui pendekatan keluarga secara integrasi dan berkesinambungan mengikuti siklus hidup. “Diperlukan kolaborasi dan partisipasi aktif antara petugas kesehatan, keluarga, dan komunitas,” jelasnya.

Yuly menekankan bahwa stunting tidak serta merta terjadi pada anak ketika dilahirkan, namun bermula dari kondisi ibu saat remaja, saat hamil, saat melahirkan, hingga anak berusia dua tahun.

Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI  proporsi status gizi sangat pendek dan pendek pada balita Indonesia berada di angka 30,8 persen pada 2018. Status gizi sangat pendek dan pendek ini menimbulkan masalah stunting (kekerdilan), yakni  masalah gizi kronis dengan indikasi tinggi badan tidak optimal.*


Baca juga: Program percepatan pencegahan "stunting" diluncurkan Pemkab Lamongan-Jatim

Baca juga: Dinkes Tebing Tinggi ungkap 74 anak alami "stunting"


 

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019