"Perkawinan anak tidak hanya berpengaruh pada capaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDG's tetapi juga berpengaruh untuk mewujudkan sasaran Indonesia Layak Anak 2030," kata Lenny dalam Seminar Nasional "Menindaklanjuti Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi Untuk Merevisi Undang-Undang Perkawinan" yang diadakan di Jakarta, Rabu (6/3) sebagaimana siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis.
Lenny mengatakan perkawinan anak dapat menghambat wajib belajar 12 tahun, menyebabkan gizi buruk pada anak yang dilahirkan dari seorang anak yang rahimnya masih rentan, serta memunculkan pekerja anak dan upah rendah.
Itu berarti perkawinan anak sangat besar berpeluang melanggar hak-hak anak, yaitu hak atas pendidikan dan hak atas kesehatan, serta ikut menyumbang angka kematian ibu.
"Negara perlu hadir dalam merumuskan langkah-langkah konkret untuk menjamin pemenuhan hak anak untuk menghapus praktik perkawinan anak," tuturnya.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan prevalensi perkawinan anak menunjukkan satu dari empat atau 23 persen perempuan menikah pada usia anak.
Sekitar 340 ribu anak perempuan di bawah usia 18 tahun menikah setiap tahun. Pada 2017, persentase perkawinan anak sudah mencapai 25,17 persen.
"Bila dilihat sebaran wilayah, terdapat 23 provinsi yang memiliki angka perkawinan anak di atas angka nasional," katanya.
Mahkamah Konstitusi telah memutuskan batas usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya paling muda 16 tahun sebagaimana diatur pada Ayat (1) Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Putusan tersebut mengamanatkan pemerintah bersama DPR selaku pembentuk undang-undang untuk melaksanakan putusan tersebut dalam waktu tiga tahun.
Baca juga: KPPPA sebut perkawinan anak ancaman bagi ketahanan nasional
Baca juga: KPPPA: hak anak yang dinikahkan tetap harus dipenuhi
Baca juga: KPPPA minta Forum Anak dukung penanganan kasus perkawinan anak
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019