"Harusnya setelah hampir tiga dekade ini ada terobosan baru terkait penanganan karhutla," ujar Teguh saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Dari segi komitmen, Teguh menuturkan sejak awal 2016 sudah ada kemajuan dengan dibentuknya BRG dengan target lahan restorasi seluas dua juta hektare.
Namun, lanjut Teguh, perwujudan komitmen itu dinilai masih terseok-seok dalam konteks pelaksanaannya karena ternyata tidak mendapat dukungan dari semua pihak secara penuh sehingga restorasi selama tiga tahun belakangan hanya mampu mencapai 600 ribu hektare dari target dua juta hektare bahkan restorasi di area konsesi yang 1,4 juta hektare masih sangat sulit untuk dijalankan.
"Ini kan berbagai komitmen sudah ada muncul, hanya saja gagal dilaksanakan dengan tepat dan gagal ditransformasikan kepada seluruh pejabat mulai dari tingkat kementerian sampai tingkat desa," ujarnya.
Dia mengatakan persoalan kebakaran ini adalah kerusakan hutan dan lahan gambut yang berawal dari suatu kesengajaan untuk menebang pohon, mengeringkannya dan membakar hutan dan lahan gambut untuk membuka lahan baru bagi penanaman.
Untuk itu, Teguh mengatakan harus ada proses penghentian pemberian izin baru terhadap korporasi untuk membuka lahan konsesi.
"Ini sudah delapan tahun dilakukan sejak 2011, tapi kan lagi-lagi tidak dilaksanakan secara maksimal, hanya di atas kertas saja, pengawasannya tidak ada, izin tetap keluar, penegakan hukum juga masih lemah," tuturnya.
Penegakan hukum dan penertiban izin harus dilakukan dengan maksimal. Kemudian, restorasi pemulihan kawasan-kawasan yang rusak dilakukan sembari memperbaiki tata batas kawasan hutan, menyelesaikan konflik, membangun mekanisme reduksi konflik, memastikan pengakuan hak-hak masyarakat adat atau lokal di sekitar hutan.
Sementara, ketika bencana karhutla terjadi, tidak ada pilihan lain selain melakukan pemadaman seperti terjun langsung ke lapangan dan 'water bombing' dengan menggunakan helikopter.
"Kalau melihat sejarah karhutla di Indonesia, bisa dikatakan kita gagap menghadapinya, apalagi ditambah musim kering, angin dengan kecepatan membakar dan soal bagaimana memadamkan, mendekati saja susah, sumber air juga kering," tuturnya.
Menurut Teguh, penegakan hukum jangan hanya dilihat dari jumlah orang yang ditangkap tapi lebih bagaimana menegakkan hukum terhadap kejahatan korporasi karena tidak sedikit korporasi yang melakukan pembakaran hutan masih bebas di luar sana.
"Belum lagi kalau kita lihat di Riau itu, pertanyaannya kenapa masih dibiarkan beroperasi?" ujarnya.
Sebelumnya, upaya memadamkan api yang membakar hutan dan lahan di Provinsi Riau terus dilakukan dan hingga 5 Maret 2019 telah dilakukan 966 kali pemadaman lewat udara (water boombing) dengan air yang dijatuhkan sebanyak 3.316.800 liter.
Kegiatan ini dilakukan dengan helikopter Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan juga helikopter milik swasta.
Data satelit Terra/Aqua (NASA) menunjukkan penurunan drastis jumlah hotspot periode 1 Januari hingga 5 Maret jika dibandingkan periode ini di 2015, dimana Provinsi Riau membara dengan total 2.289 titik api. Pada 2019 menurun 298 titik api.
Baca juga: Delapan daerah waspada karhutla
Baca juga: BMKG: periode pertama kemarau dialami pesisir Sumatera dan Kalimantan bagian barat
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019