"Setop impor-impor yang merugikan para petani," kata Ketua Badan Pertimbangan Organisasi (BPO) HKTI Oesman Sapta saat memberikan arahan dalam Rapat Koordinasi dan Diskusi Nasional 2019 HKTI di Jakarta, Senin.
Untuk itu, Oesman Sapta menegaskan HKTI juga harus mendorong berbagai kebijakan yang meningkatkan kesejahteraan petani.
Apalagi, ujar dia, saat ini sudah semakin banyak anggota masyarakat termasuk generasi muda yang tertarik untuk terjun ke dunia pertanian.
HKTI pada Februari 2019 lalu juga telah mengirimkan sebanyak 20 duta petani untuk mengirimkan Training of Trainer (ToT) tentang teknologi dan metode pertanian alamiah ke Thailand.
Oesman mengapresiasi arah fokus pemerintah yang membangun infrastruktur pertanian secara merata di berbagai wilayah di Tanah Air.
Sebagaimana diwartakan, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menyatakan, pemerintah melalui berbagai lembaga dan kementerian terkait perlu melakukan perbaikan data pangan untuk mengurangi kesemrawutan impor.
"Permasalahan data pangan yang selama ini selalu dijadikan acuan untuk melakukan impor belum sepenuhnya bisa diandalkan. Perbaikan data komoditas baru dilakukan pada komoditas beras, itupun baru pada akhir Oktober 2018 lalu. Sedangkan data-data komoditas lain seperti jagung dan kedelai dapat dikatakan belum terintegrasi menjadi data tunggal yang dapat diandalkan pemerintah dan publik," kata Assyifa Szami Ilman.
Menurut dia, perbaikan data pangan juga perlu dilakukan sebagai tindak lanjut dari berbagai rekomendasi yang sudah dikeluarkan oleh BPK terkait impor.
Ia berpendapat bahwa kegiatan impor yang belum efektif sebenarnya didasarkan pada acuan data yang dijadikan dasar untuk melakukan impor.
Dengan demikian, lanjutnya, jika data acuan tidak dapat diandalkan, hasilnya adalah kebijakan yang tidak efektif. Sebagai konsekuensinya, ada kalanya produksi pangan dikatakan sudah surplus namun harganya masih cenderung bergejolak.
"Ketika harga bergejolak, Kementerian Perdagangan pasti perlu melakukan tindakan untuk meredam gejolak tersebut, salah satunya adalah dengan impor," ucapnya.
Sebelumnya, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menyebut kebijakan impor seharusnya menjadi opsi terakhir untuk memenuhi fungsi Bulog sebagai badan penyangga kebutuhan pangan.
"Impor bisa dilakukan, namun menjadi pilihan terakhir ketika produksi minus dan cadangan Bulog sudah tidak bisa diusahakan dari dalam negeri," kata Rusli Abdullah.
Rusli menjelaskan Bulog sebagai lembaga penyangga kebutuhan pangan, membutuhkan minimal 1,5 juta ton untuk cadangan jika terjadi hal-hal mendesak seperti bencana atau gagal panen.
Baca juga: HKTI sebut sistem tanam rapat tingkatkan produktivitas jagung
Baca juga: HKTI: Indonesia masih fase terciptanya ketahanan pangan
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019