"Kami percaya di mana pun di dunia, jika ada perselisihan dagang, itu harus diselesaikan dengan cara yang tepat yaitu WTO. Jadi saya pikir ini cara yang tepat untuk mengatasi perselisihan," kata Vincent usai menghadiri Press Briefing Diskriminasi Sawit di Kementerian Luar Negeri Jakarta, Rabu.
Vincent mengatakan bahwa UE memahami pentingnya industri minyak kelapa sawit di Indonesia, terutama dalam menyerap tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan.
Namun demikian, UE juga menjadi pasar ekspor ke-2 bagi Indonesia dan kawasan negara tersebut merupakan pasar terbuka bagi negara lain, seperti India dan Tiongkok terkait komoditas kelapa sawit
Ia menegaskan bahwa dalam skema peraturan UE terbaru, hanya menekankan penghentian minyak sawit sebagai bahan bakar nabati, bukan untuk penggunaan lain seperti pada makanan dan kosmetik.
Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menegaskan Pemerintah akan menempuh langkah perlawanan terhadap diskriminasi sawit, salah satunya membawa perselisihan tersebut ke meja WTO.
Seperti diketahui, Parlemen Eropa mengajukan rancangan kebijakan "Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Direcyive II" pada 13 Maret 2019.
Dalam draf tersebut, minyak sawit (CPO) diklasifikasikan sebagai komoditas bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi terhadap lingkungan, sedangkan minyak kedelai asal Amerika Serikat masuk dalam kategori risiko rendah.
"Selain langsung ke WTO, kita juga bisa retaliasi. Memangnya kenapa, kalau dia sepihak, masa kita tidak bisa lakukan sepihak," kata Darmin.
Baca juga: Indonesia pertimbangkan larang produk UE akibat diskriminasi sawit
Baca juga: Pemerintah minta dukungan dunia usaha hadapi diskriminasi sawit UE
Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019