"Kami juga terus menuju Energy Union, yaitu dengan memanfaatkan energi yang aman, terjangkau dan berkelanjutan," ujar Vincent Guerend dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.
Sebagai bagian dari kerangka kebijakan komprehensif, Uni Eropa memiliki target baru dan mengikat mengenai energi terbarukan untuk tahun 2030, yaitu sekurang-kurangnya 32 persen.
Target itu disetujui oleh Parlemen Eropa dan Negara-negara Anggota Uni Eropa pada bulan Juni tahun lalu melalui adopsi Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive/ REDII).
Biofuel adalah elemen penting dari kebijakan energi terbarukan Uni Eropa. Namun, peraturan diperlukan untuk memastikan produksi bahan baku (feedstock) untuk biofuel merupakan bahan berkelanjutan dan tidak menyebabkan deforestasi melalui perubahan penggunaan lahan tidak langsung (indirect land use change/ ILUC).
Oleh karena itu, Guerend mengatakan arahan Energi Terbarukan (bentuk hukum Uni Eropa) yang kini sudah berlaku, menentukan pula suatu pendekatan baru untuk memastikan bahwa tanaman yang digunakan untuk produksi biofuel tidak berasal dari area yang mengalami deforestasi atau lahan gambut--di manapun diproduksinya--, dan tanaman tersebut tidak sekadar memindahkan produksi lain ke tempat yang tinggi karbon dan bernilai alam tinggi lainnya.
"Tidak ada biofuel atau bahan baku tertentu yang menjadi target. Semua minyak nabati diperlakukan setara. Minyak sawit tidak diperlakukan sebagai bahan bakar nabati buruk," kata Guerend.
Dalam REDII tersebut disebutkan bahwa mulai Januari 2024 akan ada pengurangan bertahap untuk jumlah biofuel dari jenis tertentu dalam pemenuhan target energi terbarukan.
Untuk implementasi arahan ini, lanjut Guerend, Komisi Eropa mengadopsi delegated act (aturan pelaksanaan Komisi Eropa) pada tanggal 13 Maret atas permintaan Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa (yaitu lembaga Uni Eropa yang mewakili Negara-negara Anggota Uni Eropa).
Dalam kurun waktu dua bulan masa pengkajian, kedua lembaga ini memiliki hak untuk menyatakan keberatan.
Bila tidak terdapat keberatan, maka setelah kurun waktu tersebut, aturan in akan disahkan dan diterbitkan dalam Jurnal Resmi Uni Eropa (Official Journal of the European Union).
Aturan pelaksanaan Komisi Eropa (delegated act) serta laporan yang menjadi lampirannya, didasarkan pada data ilmiah terbaik yang tersedia dari 2008 hingga 2015.
Periode referensi dimulai pada 2008 karena ini adalah batas waktu yang tercantum dalam kriteria keberlanjutan Uni Eropa untuk biofuel. Tahun 2015 adalah ketersediaan data konsisten yang paling mutakhir.
Data menunjukkan bahwa terdapat kaitan antara kelapa sawit dan tingkat deforestasi tertinggi selama 2008-2015, yakni 45 persen dari ekspansi kelapa sawit terjadi di daerah dengan cadangan karbon tinggi. Angka tersebut bahkan tidak sebanding dengan bahan baku lainnya.
Sementara itu, elapa sawit yang disertifikasi dengan resiko perubahan penggunaan lahan tidak langsung atau indirect land use change (ILUC) rendah dapat terus mendapatkan manfaat dari insentif.
Insentif itu termasuk, misalnya, penanaman di tanah yang tidak digunakan. Pengecualian lain adalah minyak sawit produksi petani kecil, mengingat pentingnya peran petani kecil di Indonesia dan Malaysia.
Delegated act juga telah menetapkan ambang batas kategori petani kecil menjadi 2 hektar agar memastikan bahwa kepemilikan dan kebebasan mereka atas tanah terjamin.
Temuan itu didasarkan pada potret data petani kecil dari Badan Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-bangsa. Potret data ini komprehensif, sistematis dan memberi gambaran profil standar petani kecil di seluruh dunia.
Kebun kelapa sawit dengan luas 25 atau 50 hektar tidak bisa dianggap "kecil" atau dikelola keluarga karena biasanya akan mempekerjakan 5 hingga 10 pekerja profesional penuh waktu.
Memang faktor produktivitas kelapa sawit lebih tinggi dibanding tanaman lain, namun faktor yang digunakan dalam rumus penentuan ILUC dihitung berdasarkan pada kadar energi dari produk yang diperdagangkan dari berbagai tanaman tahunan seperti kedelai, biji anggur dan bunga matahari dibandingkan dengan kelapa sawit.
Komisi Eropa akan mengkaji ulang data, dan jika perlu metodologi penelitian pada 2021, kemudian akan melakukan revisi delegated act tersebut pada 2023.
Pada saat itu, Uni Eropa akan mempertimbangkan segala upaya Indonesia untuk memperbaiki tata kelola produksi minyak sawit, seperti perubahan pada ISPO, moratorium, kebijakan satu peta, atau rencana aksi nasional yang baru-baru ini diterbitkan.
Baca juga: Dubes: Pasar Uni Eropa terbuka bagi minyak sawit
Baca juga: Uni Eropa pilih hapus minyak kelapa sawit dari bahan bakar kendaraan
Baca juga: Uni Eropa siap atasi perselisihan sawit Indonesia lewat WTO
Pewarta: Azis Kurmala
Editor: Azizah Fitriyanti
Copyright © ANTARA 2019