Pada akhir November 2013 RUU Masyarakat Adat menjadi salah satu agenda dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada 2014 Parlemen bahkan membentuk Panitia Khusus untuk membahas RUU tersebut.
Pada masa itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menunjuk Kementerian Kehutanan (Kemenhut) sebagai koordinator perwakilan Pemerintah di dalam pembahasan RUU Masyarakat Adat bersama dengan Parlemen. Kendati demikian, RUU Masyarakat Adat gagal diundangkan pada pemerintahan Presiden SBY.
Menjelang Pemilu 2014 pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko widodo - Jusuf Kalla menyatakan komitmen politiknya kepada masyarakat adat yang tertuang di dalam Nawacita. Dari enam komitmen politik tersebut, salah satunya menyatakan bahwa Jokowi-JK akan mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat.
Namun, RUU Masyarakat Adat teryata tidak masuk dalam Prolegnas 2015 dan 2016, hingga RUU ini disepakati sebagai inisiatif DPR dalam sidang Paripurna pada Februari 2018.
Padahal RUU Masyarakat Adat ini dapat menjadi salah satu kebijakan yang membuat masyarakat adat masuk di dalam kehidupan bernegara, bagaimana hak dan kewajiban masyarakat adat yang juga warga negara Indonesia diatur dengan menyesuaikan kondisi dan hukum adat.
Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan Ham Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ( PB Aman) Muhammad Arman bahkan menyebutkan RUU Masyarakat Adat merupakan satu langkah serta tindakan progresif dalam menyelamatkan bangsa Indonesia dan tanah air.
Tidak cukup sampai di situ, nasib daftar inventaris masalah (DIM) yang menjadi prasyarat untuk pembahasan dan proses pengesahan RUU Masyarakar Adat hingga kini tidak diketahui bagaimana statusnya.
Daftar ini merupakan permintaan DPR kepada Presiden dan harus kembali diserahkan kepada DPR dalam kurun waktu 60 hari terhitung sejak surat permintaan oleh pimpinan DPR tersebut diterima oleh Presiden. Padahal daftar itu diminta oleh pimpinan DPR pada Februari 2018.
Segera setelah menerima surat pimpinan DPR itu Presiden Joko Widodo langsung menugaskan enam kementerian terkait untuk menyiapkan DIM. Enam kementerian itu adalah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (BPN), Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, serta Kementerian Hukum dan HAM. Namun, hingga kini DPR ternyata belum menerima DIM yang dimaksud.
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil dan individu-individu pemerhati isu masyarakat adat, agraria, lingkungan, perempuan adat, dan hak asasi manusia, terus berupaya untuk mengetahui status DIM.
Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Siti Rakhma Mary mengatakan bahwa koalisi sudah lima kali melakukan audiensi dengan beberapa kementerian terkait yang ditugasi Presiden Jokowi untuk membuat DIM.
Rakhma mengungkapkan dua dari lima kali audiensi dengan kementerian terkait tersebut menyatakan bahwa DIM yang dimaksud sudah diserahkan ke DPR.
"Tapi ketika kami surati DPR, DPR menjawab pihaknya tidak menerima DIM yang dimaksud, ini seperti menunggu hal yang tidak pasti dan entah mau dibawa ke mana" ujar Rakhma.
Status dan posisi DIM RUU Masyarakat Adat yang tidak jelas ini membuat RUU Masyarakat Adat semakin terkatung-katung.
Sepakat dengan Rakhma, Direktur Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Dahniar Andriani, mengatakan bahwa audiensi yang dilakukan koalisi dengan pemerintah justru hanya membuahkan ketidakjelasan.
Koalisi merasa seperti bola yang dialihkan dari kementerian satu ke kementerian lainnya, padahal mereka hanya ingin mengetahui di mana posisi DIM saat ini berada dan bagaimana statusnya.
Dahniar juga mengatakan bahwa DIM RUU Masyarakat Adat seharusnya dilihat sebagai persoalan genting oleh Kabinet Kerja, karena kementerian sebagai pembantu presiden seharusnya membantu memenuhi Nawacita terutama di tengah Agenda Politik 2019.
Pengakuan masyarakat adat
Meskipun keberadaan masyarakat adat telah diakui di dalam konstitusi maupun sejumlah peraturan perundang-undangan, namun sejumlah hak-hak masyarakat adat masih terus menerus terlanggar.
"Padahal hak-hak tersebut satu sama lain tidak dapat dipisahkan dan melekat, dan harus diakui untuk pencapaian kemanusiaan bagi masyarakat adat," ujar Muhammad Arman.
Hak-hak tersebut adalah hak atas wilayah adat, hak atas budaya spiritual, hak perempuan adat, hak anak dan pemuda adat, hak atas lingkungan hidup, dan hak untuk berpartisipasi.
Terkait dengan hak atas wilayah adat dan lingkungan hidup, Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) menyatakan bahwa masyarakat adat di Indonesia merupakan kelompok masyarakat yang tergolong sering menjadi korban konflik sumber daya alam dan agraria.
Perkumpulan HuMa mencatat sepanjang 2018 tidak kurang 26 konflik sumber daya alam dan agraria terjadi di Indonesia yang menjadikan masyarakat adat sebagai korban. Konflik-konflik tersebut melibatkan areal lahan seluas 2,1 juta hektar dengan korban 186.631 jiwa.
Dari angka jumlah korban tersebut, lebih dari 176 ribu jiwa adalah korban dari pihak masyarakat adat, ujar Dahniar.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) juga mencatat pada 2018 terdapat satu orang meninggal dunia dan lima orang masyarakat adat dari pesisir dan pulau-pulau kecil yang menjadi korban kriminalisasi.
"Maraknya konflik agraria dan bahari merupakan cerminan pembangunan ekonomi Indonesia yang digadang-gadang belum berpihak kepada masyarakat adat," ujar Koordinator Kiara, Bona Beding.
Bona menambahkan bahwa ruang hidup bagi sumber-sumber penghidupan masyarakat adat terutama yang hidup di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kini kian mengkerucut akibat berbagai konflik yang menjadikan masyarakat adat sebagai korban.
Sementara terkait dengan hak perempuan adat, Direktur Program dan Komunikasi Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Perempuan Aman), Muntaza, mengatakan RUU Masyarakat Adat penting disahkan untuk melindungi perempuan adat dari tindak kekerasan dan diskriminasi di dalam komunitas adat. Hal ini penting mengingat masih terdapat tindak kekerasan dan diskriminasi di dalam komunitas adat terhadap kaum perempuan.
"Kami juga menyadari bahwa di dalam Masyarakat Adat terdapat hak-hak kolektif perempuan yang tidak terlindungi oleh beragam kebijakan di Indonesia," tambah Muntaza.
RUU Masyarakat Adat diyakini Muntaza sebagai satu-satunya kebijakan yang mampu melindungi hak-hak kolektif perempuan adat serta menjaminkan partisipasi perempuan adat di dalam pembangunan berbangsa dan bernegara.
Lebih lanjut Muntaza menjelaskan beberapa contoh tindak kekerasan dan diskriminasi yang terjadi kepada perempuan dalam komunitas adat adalah tradisi potong jari, dan menikah paksa bagi korban perkosaan dengan pelaku.
RUU Masyarakat Adat memang penting untuk segera diundangkan, karena RUU ini tidak hanya menyangkut hak asasi manusia dan pengakuan bagi masyarakat adat, namun juga dapat menjadi salah satu kebijakan yang membuat masyarakat adat masuk di dalam kehidupan bernegara.*
Baca juga: Masyarakat adat menunggu kepastian hukum
Baca juga: YLBHI: Status DIM RUU Masyarakat Adat tidak jelas
Baca juga: HuMa: masyarakat adat masih jadi korban konflik SDA, agraria
Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019