Ki petinggi, atau Sesepuh masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, merupakan sosok yang sangat disegani. Segala ucapan dan perilaku seorang ki petinggi, akan diikuti oleh masyarakat Tengger.Pada proses demokrasi yang ada di waktu lalu, tingkat kepesertaan masyarakat Tengger sangat tinggi. Selalu di atas 80 persen.
Menjadi sosok panutan, seorang ki petinggi harus memiliki pribadi dan hati yang "resik" atau bersih. Karena masyarakat Tengger pada hakikatnya akan mengikuti segala sesuatu yang diminta oleh ki petinggi itu. Ini terkait dengan rasa saling percaya antara sosok pemimpin desa dengan warganya.
Supoyo, adalah salah seorang ki petinggi di Desa Ngadisari, yang dipercaya oleh masyarakat Tengger untuk menjadi seorang pemimpin selama bertahun-tahun. Dia, sejak 1998 diberi kepercayaan oleh masyarakat Tengger untuk menjadi seorang kepala desa.
Perjalanan menjadi seorang kepala desa dimulai pada 1998. Saat itu, Supoyo sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Kepala Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura. Kemudian, dia memangku jabatan Kepala Desa pada periode pertama pada 2001-2006.
Setelah masa jabatan itu habis, dirinya kembali mengisi posisi Pjs, pada 2006-2007, yang kemudian dipilih kembali oleh masyarakat Tengger untuk menjadi Kepala Desa pada 2007-2013. Selama 15 tahun, Supoyo menjadi seorang Kepala Desa Ngadisari.
"Karena saya tidak memiliki ambisi, saat dipercaya oleh masyarakat, akhirnya merasa jadi beban. Jangan-jangan, setelah saya diminta (untuk menjadi pimpinan), tapi saya tidak mampu. Semuanya sakral. Akan tetapi, saya bisa memegang kepercayaan masyarakat dengan baik, " kata Supoyo, kepada Antara.
Meskipun saat ini dirinya sudah tidak lagi menjabat sebagai Kepala Desa Ngadisari, sosok Supoyo tetap disegani oleh masyrakat Tengger. Dia merupakan ki petinggi, seorang panutan bagi warga Desa Ngadisari, Kabupaten Probolinggo, hingga saat ini.
Sebagai seseorang yang memiliki pengaruh sangat besar di Desa Ngadisari, tidak menjadikan kehidupan Supoyo dihabiskan dalam kemewahan. Kehidupan sederhana tetap tercermin dalam kehidupan sehari-hari bersama dengan istrinya, Sri Wahayu.
Sri Wahayu, bersama anaknya, bahkan masih menyempatkan diri untuk memanen hasil bumi berupa kentang dari ladang yang dimilikinya. Tangan seorang istri ki petinggi di Desa Ngadisari itu, harus berbalut tanah untuk mengambil kentang dari hasil bumi.
Bagi masyarakat Tengger, sosok seorang pemimpin yang sederhana merupakan panutan dalam kehidupan. Bukan hanya dalam kehidupan sehari-hari, namun juga dalam kehidupan bernegara, karena seorang pemimpin itu harus bisa menyentuh akar masalah yang ada di masyarakat.
Bagi Supoyo, salah satu filosofi yang hingga saat ini terus menjadi pedoman dalam hidupnya untuk menjadi seorang pemimpin yang baik, berasal dari seorang tokoh Pahlawan Nasional, Ki Hadjar Dewantara.
Ajaran Ki Hajar Dewantara itu adalah "Ing ngarso sung tuladha", sebagai seorang pemimpin, di depan harus memberikan teladan atau contoh. "Ing madyo mangun karso", di tengah, atau di antara masyarakat, harus menimbulkan inisiatif. "Tut wuri handayani", dari belakang, seorang pemimpin memberikan dorongan kepada masyarakat.
"Sejak menjadi pemimpin di organisasi paling kecil, hingga tertinggi, saya tidak akan melupakan itu. Itu yang saya pedomani," ujar Supoyo.
Baca juga: Kompleksitas pemungutan suara di Nusakambangan
Pesta Demokrasi ala masyarakat Tengger
Mengapa masyarakat Tengger sangat menghormati dan mengikuti ucapan dari ki petinggi? Di masyarakat Tengger, ada falsafah catur guru bekti, yang berarti empat guru yang "dibekteni" atau dihormati.
Pertama, adalah bekti kepada Sang Hyang Widhi yang menciptakan manusia, apapun agamanya. Kedua, orang tua dan leluhur, ketiga guru yang memberikan pelajaran, dan keempat adalah pemerintah. Pemerintah, pusat maupun desa, menjadi salah satu poin penting dalam falsafah tersebut.
Dengan falsafah itu, ditambah dengan kepemimpinan seorang ki petinggi yang sederhana, menjadikan masyarakat Tengger merupakan salah satu suku yang paham akan pentingnya demokrasi. Bukan hanya pada pemilihan tingkat desa, namun juga pada ajang Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
Keriuhan menjelang datangnya pesta demokrasi di Indonesia, biasanya diwarnai dengan beragam warna-warni alat peraga kampanye (APK) partai politik peserta Pemilu. Namun, tidak demikian di kawasan Desa Ngadisari.
Mengapa hal itu terjadi? Karena, bagi masyarakat Tengger merayakan datangnya pesta demokrasi terbesar tiap lima tahunan tersebut tidak perlu diisi dengan masa kampanye yang berlebihan. Masyarakat Tengger, lebih suka menghabiskan waktu untuk berkerja di ladang.
Mobilisasi warga untuk mendukung salah satu peserta pemilu, tidak terjadi. Hal itu, menurut sebagian masyarakat Tengger tidak dilakukan karena ada potensi gesekan antarpendukung salah satu peserta Pemilu. Mereka, lebih menyukai dialog.
Bagi para kandidat yang akan berkontestasi pada Pemilu 2019, keunikan masyarakat Tengger merupakan tantangan tersendiri. Mereka tidak membutuhkan janji manis saat kampanye, namun bukti kepemimpinan dan perubahan selama menjadi seorang pemimpin.
"Proses menahan diri masyarakat Tengger itu tinggi, jadi untuk menghindari yang namanya gesekan, konflik kepentingan, itu luar biasa. Mereka tidak akan mau dimobilisasi untuk memberikan dukungan calon tertentu," ujar Supoyo.
Selain tidak tertarik dengan kampanye yang berlebihan, masyarakat Tengger juga menolak adanya praktik politik uang. Peserta pemilu akan sia-sia jika memiliki keinginan untuk meraup suara dari masyarakat Tengger bermodal uang, tanpa bukti kepemimpinan.
Seorang warga Desa Ngadisari, Ki Wayan Cahyono (40), mengatakan bahwa menjelang perhelatan Pemilu serentak pada 17 April 2019, di kalangan masyarakat Tengger tidak ada praktik-praktik pilitik uang. Karena, hal itu tidak sesuai dengan apa yang diyakini oleh masyarakat Tengger.
"Di sini tidak ada politik uang, kemudian, masyarakat Tengger itu satu kesatuan, yang mengharapkan pemimpin tanggung jawab, mementingkan kepentingan dan melayani masyakarakat. Kami selalu mengikuti peraturan yang ada," ujarnya.
Selain itu, meskipun masyarakat Tengger pada umumnya dikesankan tidak terlalu mengikuti hiruk pikuk Pemilu 2019, namun, mereka merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, khususnya dalam penyelenggaraan pesta demokrasi itu.
Masyarakat Tengger merupakan masyarakat yang memiliki antusias tinggi untuk menyalurkaan hak suaranya pada Pemilu mendatang. Pada pemilu sebelumnya, tingkat partisipasi masyarakat Tengger mencapai 80 persen, dan pada tahun ini diharapkan bisa lebih tinggi lagi.
Warga lainnya, Edi Susanto, mengatakan bahwa dirinya sangat antusias untuk mengikuti Pemilu serentak pada April mendatang. Hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa masyarakat Tengger mendukung program pemerintah.
Edi menjelaskan, salah satu bentuk dukungan masyarakat Tengger terhadap pemerintah adalah, keikutsertaannya pada sosialisasi tata cara pencoblosan Pemilu 2019 guna menyukseskan agenda besar Indonesia, yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
"Kami selalu mengikuti pemerintah. KPU sudah melakukan sosialisasi, saya sudah tahu bagaimana cara supaya suara tersebut sah. Harapan saya, Pemilu 2019 semoga lancar, dan tidak ada halangan apapaun," ujar Edi.
Penyelenggaraan kampanye, dengan menghadirkan ribuan orang di satu titik, tidak pernah terjadi di Desa Ngadisari. Mereka cenderung tidak mengikuti proses kampanye seperti itu.
Baca juga: Merawat demokrasi di puncak Bromo
Jika demikian, lantas, apa makna dari pesta demokrasi bagi masyarakat Tengger?
Makna paling mendasar pada pesta demokrasi bagi masyarakat Tengger adalah tingkat partisipasi, atau keikutsertaan masyarakat pada Pemilu.
Meskipun tidak menghabiskan banyak waktu untuk tercebur dalam hura-hura kampanye, masyarakat Tengger sangat paham bahwa mereka wajib menyalurkan hak pilih mereka.
"Pada proses demokrasi yang ada di waktu lalu, tingkat kepesertaan masyarakat Tengger sangat tinggi. Selalu di atas 80 persen," kata Supoyo.
Baca juga: Filosofi masyarakat Tengger untuk Pemilu
Harapan Suku Tengger
Masyarakat Tengger, mengharapkan Pemilu serentak pada 17 April 2019, bisa berjalan dengan damai, aman, dan lancar. Perangkat desa dan ki petinggi, khususnya yang ada di Desa Ngadisari, bersemangat untuk mendorong warganya supaya menggunakan hak pilih mereka.
Sementara, bagi peserta pemilu hendaknya bisa memberikan gambaran kepada masyarakat luas, bukan hanya Suku Tengger, terkait program kerja pada saat mereka nantinya terpilih menjadi wakil rakyat.
Karena, pertaruhan pada Pemilu 2019 ini sangat besar, dan akan percuma jika diisi dengan konflik kepentingan.
Pada pemilu serentak untuk mengisi kursi pada Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten, Dewan Perwakilan Daerah, termasuk Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, diharapkan tidak ada upaya saling menjatuhkan lawan.
Peserta pemilu harus bisa mengendalikan diri, supaya para pendukung terhindar dari konflik berkepanjangan yang tidak terurai, meski nantinya elit politik sudah berdamai. Semuanya, dikembalikan pada diri masing-masing, baik peserta Pemilu, maupun pendukung peserta tertentu.
"Semua kembali ke diri masing-masing, baik peserta maupun pendukung. Semoga Pemilu 2019 bisa berjalan lancar, aman, dan sesuai dengan mekanisme yang ada," kata Supoyo.
Baca juga: Pemilu; kalau di luar panas, Osing adem ayem
Baca juga: Pemilu adalah kegembiraan orang-orang pulau
Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019