Pakar: Perlu ada regulasi rokok elektrik

28 Maret 2019 17:51 WIB
Pakar: Perlu ada regulasi rokok elektrik
Ilustrasi : seorang pedagang rokok elektronik (e-cigarette) memperlihatkan tiga buah rokok elektrik di pusat penjualan rokok elektrik di Palembang. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi) (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/)

Peraturan tentang produk tembakau alternatif tidak bisa disamakan dengan peraturan rokok mengingat dari sisi kesehatan, yang berdasarkan bukti ilmiah, jelas bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah

Pakar kesehatan masyarakat dari Universitas Padjajaran Dr dr Ardini Raksanagara mengatakan perlu adanya regulasi rokok elektrik di Tanah Air.

"Saat ini belum ada regulasi rokok elektrik, kita dengan mudah melihat sejumlah remaja dengan mudahnya mendapatkan rokok elektrik," Ardini dalam diskusi "Pengurangan Bahaya Tembakau dalam Perspektif Sains, Kebijakan dan Regulasi Kesehatan Masyarakat" di Jakarta, Kamis.

Padahal rokok elektrik itu diberikan kepada orang dewasa yang ingin berhenti merokok. Bukan bagi yang tidak ingin merokok. Menurut dia, suatu kesalahan jika ada remaja yang merokok elektrik.

Ia mengaku sangat prihatin dengan banyaknya anak muda yang dengan bangganya merokok elektrik. Seharusnya rokok elektrik itu diberikan kepada remaja.

"Itu karena tidak ada aturannya. Untuk itu perlu ada aturannya yang mengatur hal itu," kata dia lagi.

Baca juga: Era disrupsi, rokok alternatif berpotensi gusur rokok konvensional

Pembina Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR), Prof. Dr drg Achmad Syawqie Yazid, mengatakan perlu adanya upaya untuk memberikan pemahaman secara holistik kepada pemangku kepentingan. Hal ini didukung dengan bukti ilmiah dan kebijakan pengurangan bahaya tembakau sebagai strategi untuk menurunkan prevalensi perokok di Indonesia.

Syawqie menambahkan kebijakan pengurangan bahaya tembakau yang dimaksud yakni dengan meregulasi produk tembakau alternatif yang mengandung nikotin atau tembakau seperti rokok elektrik dan produk tembakau yang dipanaskan.

"Peraturan tentang produk tembakau alternatif tidak bisa disamakan dengan peraturan rokok mengingat dari sisi kesehatan, yang berdasarkan bukti ilmiah, jelas bahwa produk tembakau alternatif memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah."

Berdasarkan kajian ilmiah yang telah dilakukan di sejumlah negara, Indonesia perlu mengadopsi prinsip pengurangan bahaya bagi penggunaan produk tembakau. Di Inggris, pada tahun 2012 jumlah perokok mencapai 19,3 persen dari total populasi dewasa dan kemudian menurun drastis hingga 14,9 persen di tahun 2017 setelah menggunakan produk tembakau alternatif.

Selain itu, berdasarkan kajian ilmiah dari Georgetown University Medical yang bertajuk “Potential Deaths Averted in USA by Replacing Cigarettes with E-Cigarettes” dan dipublikasikan dalam Jurnal Tobacco Control menyatakan, diperkirakan sebanyak 6,6 juta orang di Amerika Serikat dapat terhindar dari kematian dini melalui penggunaan produk tembakau alternatif.

Ketua dan Pendiri Center for Healthcare Policy and Reform Studies (CHAPTERS),Lutfi Mardiansyah, melihat seharusnya tidak ada keraguan dari pemerintah untuk menindaklanjuti penelitian yang sudah dilakukan oleh negara lain. Sejumlah langkah yang diambil untuk menekan konsumsi rokok di Indonesia terbukti belum mencerminkan hasil yang signifikan.

"Dari sisi kesehatan, seharusnya produk tembakau alternatif dapat menjadi solusi untuk mengurangi risiko kesehatan, terutama mengurangi penyakit yang disebabkan oleh rokok. Perlu dukungan semua pihak agar tujuan untuk mengatasi permasalahan kesehatan akibat rokok dapat segera diatasi, salah satunya kebijakan yang kuat dari Pemerintah berdasarkan kajian ilmiah yang komprehensif,” kata Lutfi.

Baca juga: Pakar : pemerintah harus cari cara atasi tingginya angka perokok

Baca juga: Pengembangan teknologi buktikan produk tembakau alternatif minim risiko

Pewarta: Indriani
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019