Kantong plastik bekas, styrofoam, botol minuman, dan bahkan ban mobil ada di antara tumpukan sampah yang terbawa arus dan terdampar di Hutan Mangrove Ecomarine yang berada di tepi Muara Kali Adem, Jakarta Utara.
Sampah yang sepertinya tak pernah bosan menghampiri membuat sekitar 32 ribu pohon mangrove di kawasan seluas 1,8 hektare tersebut sebagian tumbuh di antara plastik dan barang-barang bekas.
"Muara ini (Sungai Kali Adem) adalah destinasi 12 sungai di Jakarta, sampah menumpuk," kata Ketua Komunitas Mangrove Muara Angke (Komma) Muhammad Said (44) di kawasan Hutan Mangrove Ecomarine, Rabu (20/3).
Selain menghadapi masalah pencemaran, hutan mangrove juga rentan rusak akibat kegiatan industri properti, tambak, dan pariwisata.
Di wilayah DKI Jakarta, kawasan hutan mangrove seluas 430 hektare yang tersebar di sepanjang pesisir utara Jakarta hingga Kepulauan Seribu sekitar 30 persennya membutuhkan rehabilitasi.
Juru Kampanye Kelautan Greenpeace Indonesia Arifsyah Nasution menuturkan kondisi hutan mangrove di Jakarta sebagian sudah mengkhawatirkan dan membutuhkan penanganan serius.
Salah satunya hutan mangrove di Pulau Bokor, bagian dari gugusan Kepulauan Seribu, yang terancam pencemaran sampah plastik.
Penjaga Pesisir
Hutan mangrove merupakan benteng pertahanan kawasan pesisir. Kerusakan hutan mangrove akan merapuhkan pertahanan warga pesisir dari dampak perubahan iklim, meningkatkan risiko mereka kehilangan tempat tinggal dan mata pencarian.
"Kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim membuat mereka yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat kehilangan tempat tinggal," kata Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi Yuyun Harmono.
Fungsi hutan mangrove dalam menyimpan karbon, mencegah abrasi di pesisir, dan menangkap sedimen kaya karbon organik yang datang bersama kenaikan permukaan laut akan menurun kalau kondisinya rusak.
Yuyun menekankan perlunya penerapan strategi jangka panjang yang melibatkan masyarakat dalam mengatasi kerusakan ekosistem mangrove di kawasan pesisir.
"Ekosistem pesisir terdiri dari terumbu karang, padang lamun, dan mangrove. Masyarakat perlu dilibatkan dalam mengelola dan merawat ini semua," katanya.
Arifsyah juga sependapat.
"Upaya perlindungan pesisir bisa dilakukan dengan membangun kearifan lokal. Kami sarankan agar restorasi mangrove bisa masuk dalam program desa, jadi warga bisa terlibat langsung melindungi ekosistem mangrove," katanya.
Upaya Komunitas
Said menuturkan mangrove yang tumbuh di kawasan pinggir Sungai Kali Adem tahun 1990an sudah tidak ada yang tersisa karena kena dampak pembangunan. Warga baru mulai menanam mangrove lagi tahun 2008.
"Kami membentuk komunitas mangrove dan mulai menanam atas dasar sosial, peduli lingkungan," ujar Said.
Sepanjang 2008 hingga 2019 ada 32 ribu pohon mangrove yang ditanam di Hutan Mangrove Ecomarine, yang berada di ujung perkampungan nelayan Muara Angke, sekitar 10 menit jalan kaki dari Pelabuhan Kali Adem.
Pepohonan mangrove itu sudah tumbuh, sebagian tingginya kini sampai lima meter.
"Untuk penanaman pertama batangnya sudah besar dan menghasilkan buah," kata Samroni (60), petugas pemelihara mangrove di kawasan itu.
Komunitas mangrove dan Karang Taruna juga bersinergi melakukan upaya pembibitan serta penanaman pohon mangrove.
Mereka menumbuhkan bibit mangrove, dan menjual bibit siap tanam dengan harga Rp20 ribu per polybag kepada pengunjung yang ingin menanam bakau di kawasan hutan itu.
"Biasanya ada mahasiswa dan orang-orang kantor yang beli bibit untuk kemudian ditanam," kata Samroni.
Selain itu, untuk menjaga mangrove dari serbuan sampah, Said bersama anggota Karang Taruna setempat menyusun gelondongan bambu menjadi semacam tanggul untuk mencegah sampah masuk ke kawasan hutan mangrove.
Upaya serupa dilakukan di kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk, Jakarta Utara.
Petugas pemeliharaan Hutan Lindung Angke Kapuk Sucita mengatakan bahwa sebelum pemasangan tanggul sampah plastik yang mengalir dari Kali Adem dan Sungai Ciliwung bisa menumpuk sampai setinggi satu meter di kawasan seluas 44,7 hektare yang ditumbuhi berbagai jenis mangrove itu.
"Kami lalu membuat tanggul penahan agar sampah tidak masuk ke hutan," katanya.
"Kami ingin menyelamatkan tanaman-tanaman di sini... Sayang kalau mereka mati karena sampah," ia menambahkan.
Menambah Nilai
Kelompok warga yang mengelola Hutan Mangrove Ecomarine tidak menarik uang sepeserpun dari pengunjung.
Mereka sebagian berusaha mendapatkan manfaat ekonomi dari kawasan hutan mangrove dengan membudidayakan ikan dan mengolah buah mangrove menjadi sari buah, dodol dan selai.
"Buah mangrove yang awalnya hanya jatuh ke tanah, kini bisa dimanfaatkan untuk menambah penghasilan. Ibu-ibu di sekitar sini bisa kerja bikin makanan sehat dari olahan mangrove," kata Saanit (58), seorang pembuat produk olahan dari buah mangrove.
"Produk olahan ini kami buat secara manual dan tanpa bahan pengawet. Untuk pewarnanya kami menggunakan bunga rosela," ia menambahkan.
Pengolah buah mangrove menjual sari buah mangrove dalam kemasan berukuran 300 mililiter (ml) seharga Rp15 ribu, dodol mangrove dengan harga Rp25 ribu per 250 gram, dan selai mangrove seharga Rp15 ribu per 200 gram.
Namun para pembuat produk olahan mangrove baru bisa berproduksi berdasarkan pesanan.
"Biasanya acara kantor PJB (Pembangkit Jawa Bali) atau dari Pemkot (Jakarta Utara) yang sering pesan," ucap Saanit.
Saanit dan pengolah buah mangrove yang lain mengharapkan dukungan untuk memperluas pemasaran produk mereka.
Dukungan bagi para perajin di sekitar kawasan hutan mangrove itu tidak hanya akan meningkatkan pendapatan mereka, namun juga memotivasi mereka untuk melanjutkan upaya merawat mangrove, yang akan membentengi kawasan pesisir dari dampak perubahan iklim.
Baca juga:
Kerusakan mangrove rapuhkan pertahanan pesisir dari perubahan iklim
Mangrove Muara Angke bertambah jadi 32 ribu dalam 10 tahun
Pewarta: Virna P Setyorini & Sugiharto P
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019