Jaga kesehatan telinga agar tidak tuli saat tua

3 April 2019 19:48 WIB
Jaga kesehatan telinga agar tidak tuli saat tua
Ilustrasi : Pemberian Alat Bantu Dengar Penderita disabilitas pendengaran mengikuti pemeriksaan telinga pada acara Bakti Sosial pemberian 1000 Pasang Alat Bantu Dengar (ABD) Elektrik di aula Panti sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna, Bandung, Jawa Barat. (ANTARA FOTO/Agus Bebeng)
Masalah kesehatan telinga sering kali baru ditangani ketika sudah ada gejala-gejala yang tidak nyaman dan dirasa mengganggu pendengaran.

Padahal berbagai penyakit yang ada pada telinga sebenarnya bisa diminimalkan atau dicegah agar tidak berakibat masalah kesehatan atau bahkan ketulian.

Tidak sedikit juga masyarakat yang abai terhadap perilaku tidak sehat atau salah memberi perlakuan pada telinganya yang berpotensi menyebabkan ketulian.

Kasus ketulian di Indonesia terbagi ke beberapa jenisnya mulai dari tuli degeneratif pada orang tua yang jumlahnya empat persen dari orang usia lanjut, tuli sejak lahir, tuli akibat dari lingkungan, infeksi telinga tengah, pengumpulan serumen atau kotoran telinga, dan kejadian tuli mendadak.

Tuli akibat usia menjadi paling banyak kasusnya dikarenakan sel-sel di organ rumah siput pada telinga mengalami degenerasi. Biasanya tuli degeneratif terjadi pada orang di usia lebih dari 60 tahun.

Kendati demikian, banyak beberapa perilaku yang dapat mempercepat ketulian sehingga bisa dialami oleh orang yang lebih muda.

Yang paling banyak ditemui di era teknologi di mana segala keperluan dapat dilakukan melalui gawai adalah penggunaan penyuara telinga atau "ear phone" tidak sesuai anjuran.

Wakil Ketua Komnas Penanggulangan Gangguan Pendengaran dan Ketulian (PGPKT) dr Hably Warganegara Sp.THT-KL menyebutkan suatu kasus ketulian hingga menurunkan fungsi pendengaran sangat signifikan pada seorang penumpang pesawat yang terbang dari Amerika Serikat menuju Indonesia.

Penumpang tersebut mendengarkan musik menggunakan penyuara telinga tanpa berhenti sepanjang penerbangan. Akibatnya, fungsi pendengaran penumpang tersebut terus menurun hingga 80 desibel atau tuli berat.

Contoh suara dengan kekuatan 80 desibel ialah suara grand piano atau dering telepon kabel.

Aturan penggunaan penyuara telinga pada gawai ialah dengan batas volume maximum 60 persen dari pengaturan suara maksimal. Itu pun hanya boleh digunakan tidak lebih dari 60 menit.

Bila penggunaan penyuara telinga terlalu keras ditambah waktu pemakaian yang lama berpotensi menurunkan fungsi pendengaran hingga 60 desibel.

Sangat perlu diwaspadai bagi orang yang sering menggunakan penyuara telinga lebih lama seperti pemain game profesional berpotensi mengalami penurunan fungsi pendengaran lebih cepat. Terlebih lagi apabila ada orang yang kerap mendengarkan musik dengan menggunakan penyuara telinga saat tidur, sangat tidak dianjurkan.

Efek penurunan fungsi suara akan terjadi perlahan-lahan seiring kerusakan rumah siput dan dapat mempercepat degenerasi sel-sel organ dalam telinga sehingga ketulian bisa dialami pada usia yang lebih muda.

Perlu diketahui bahwa ketulian dikategorikan berdasarkan tingkatannya mulai dari yang ringan hingga berat. Tuli ringan contohnya tidak jelas mendengar perkataan lawan bicara sehingga minta diulang. Tuli ringan hanya bisa mendengarkan suara antara 30-40 desibel.

Normalnya, pendengaran manusia dengan telinga yang sehat dapat mendengar tanpa ada batas waktu mulai dari 0 hingga 25 desibel. Di atas itu, ada batasan waktu untuk telinga mendengarkan suara yang keras agar tidak terjadi kerusakan pada organ dalam telinga.

Suara dengan kekuatan 0 hingga di bawah 10 desibel seperti suara embusan angin yang menyebabkan gesekan daun serta suara burung berkicau. Suara 10 sampai 20 desibel seperti suara air menetes dan bicara dengan berbisik.

Namun, orang dengan kemampuan pendengaran di atas 40 desibel terkadang mendengar orang lain berbicara dengan kata yang tidak beraturan.

Orang dikatakan tuli sedang apabila kemampuan pendengarannya di atas 40-60 desibel. Misalnya, apabila dipanggil namanya dari belakang dia tidak mendengar.

Suara dengan kekuatan 50-70 desibel antara lain suara bayi menangis, mesin penghisap debu, dan gonggongan anjing.

Jika kemampuan pendengarannya berada pada 80 desibel, seseorang tidak dapat mendengar suara orang berbicara sehingga membuatnya hanya menerka dan membaca gerakan bibir. Kategori ini termasuk dalam tuli berat.

Sementara yang paling parah ialah kemampuan pendengaran di atas 80-90 desibel hingga disebut seperti hidup di ruang hampa. Suara dengan kekuatan antara 80-120 desibel adalah suara kendaraan bermotor, dering bel, suara helikopter, mesin pesawat, musik band, dan letusan senjata.

Penurunan fungsi telinga hingga menyebabkan ketulian ringan hingga sedang juga harus diperhatikan pada beberapa profesi pekerjaan. Pekerja yang bekerja di tempat bising seperti pabrik, area permainan di pusat perbelanjaan, pekerja di diskotik, dan lainnya yang terpapar suara bising secara terus menerus sangat berisiko.

Bagi pekerja yang bekerja di tempat bising tersebut bisa meminimalkan efek buruk dari kebisingan dengan menggunakan penyumbat telinga atau pembatasan waktu dalam bekerja yang lebih sehat.

Ketulian pada anak-anak

Ketulian yang terjadi pada anak-anak biasanya dialami sejak lahir yang diakibatkan oleh beberapa faktor risiko. Faktor gen atau keturunan, kelahiran bayi prematur, bayi dengan hiperbilirubinemia, pengaruh obat-obatan ototoksik, bakteri meningitis, dan infeksi prenatal seperti virus rubella yang dialami ibu hamil kemudian menyerang janin bisa menyebabkan tuli kongenital.

Untuk pencegahan tentu saja dimulai dari orang tua khususnya ibu yang menjaga pola makan dan pola hidup saat mengandung. Kementerian Kesehatan menekankan pentingnya imunisasi campak rubella pada anak untuk mencegah penularan virus tersebut ke ibu hamil pada tiga bulan awal kandungan yang sangat rentan.

Tidak sedikit kasus tuli kongenital terjadi karena infeksi virus rubella yang tidak hanya mengincar organ pendengaran pada janin, tetapi juga fungsi jantung dan penglihatan si jabang bayi.

Namun apabila tuli bawaan lahir tetap terjadi, petugas kesehatan dan orang tua harus dapat mendeteksi secara dini apakah bayinya saat dilahirkan dapat mendengar atau tidak. Caranya dengan skrining atau mengetes pendengaran anak sejak lahir.

Ketua Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan-Bedah Kepala Leher dr Soekirman Soekin Sp.THT-KL mengatakan semakin dini ketulian bawaan lahir ditangani, kemungkinan seorang anak dapat mendengar dan berbicara semakin tinggi dan lebih cepat.

Ketika seorang anak mengalami ketulian sejak lahir, pada saat tumbuh dia tidak akan bisa berbicara karena tidak bisa mendengar suara untuk ditirukan dengan mulutnya.

Soekirman menyebutkan ada dua langkah yang bisa dilakukan untuk mendeteksi sejak dini kemungkinan tuli bawaan, yaitu dengan mengetahui refleks anak yang disebut moro dan tes elektronik untuk mengetahui saraf pendengaran anak bekerja.

Bayi diberikan suara dari bagian belakangnya yang tidak terlihat pandangan seperti menepuk tangan, memanggil keras, atau memukul meja. Jika anak kaget, mengejapkan mata, atau mengerutkan wajah, kemungkinan besar anak mendengar.

Namun tes tersebut dinilai subjektif, sehingga diperlukan tes objektif pendengaran dengan alat Otoacoustic Emission (OAE) untuk mengetahui apakah rumah siput di dalam telinga bekerja.

Dengan mengetahui adanya kelainan pendengaran pada anak sejak dini bisa dilakukan tindakan dengan segera agar anak bisa cepat mendengar dan berbicara.

Keterlambatan deteksi anak tuli kongenital bisa berakibat tidak hanya pada anak yang tidak bisa mendengar, melainkan juga tidak dapat berbicara karena tidak mendengar apapun sejak lahir.

Selain ketulian sejak lahir, anak juga kerap mengalami penurunan pendengaran akibat kotoran telinga yang menyumbat terlalu tebal. Kondisi ini memang sering dialami oleh anak-anak.

Pembersihan akibat kotoran telinga yang mengeras dan menebal harus dilakukan oleh dokter. Soekirman melarang penggunaan alat korek telinga yang terbuat dari kapas (cotton bud), dari plastik, ataupun terbuat dari besi.

Penggunaan cotton bud hanya akan mendorong kotoran telinga masuk lebih dalam ke liang telinga. Penggunaan cotton bud sebenarnya hanya diperbolehkan untuk membersihkan lekukan yang ada di telinga bagian luar atau membersihkan kotoran telinga yang sudah keluar dengan sendirinya.

Kotoran pada telinga yang berada di dalam liang belum perlu dibersihkan dan sebaiknya dibiarkan saja. Kotoran tersebut akan keluar dengan sendirinya seiring pergerakan rahang yang digunakan saat makan sehingga mendorong kotoran atau serumen keluar.

Saat serumen sudah berada di liang bagian luar barulah boleh dibersihkan menggunakan cotton bud yang berukuran kecil.

Baca juga: Tingkat kebisingan tempat rekreasi lebihi ambang batas

Baca juga: 9,6 juta orang Indonesia alami gangguan pendengaran

 

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019