"Kalau surat suara untuk memilih presiden kan langsung gambar, sedangkan untuk calon legislatif isinya gambar partai dan nama-nama calon legislatif," kata Dewi saat ditemui di ISDI, Jakarta pada Kamis.
Tak hanya itu, pemilihan umum serentak 2019 yang menyediakan lima kertas suara untuk memilih presiden, anggota DPR, DPRD Provinsi,DPRD Kabupaten/kota dan DPD juga dirasa akan menyulitkan para difabel.
Sampai saat ini , ISDI belum pernah dilibatkan untuk mengikuti sosialisasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), sehingga sosialisasi diberikan langsung oleh guru-guru di ISDI.
"Biasanya seminggu sebelum pemilu kita akan beri tahu mereka tentang pemilu, tapi rata-rata mereka sudah mengerti karena sudah pernah ikut pemilu," kata Dewi.
Kampanye-kampanye di televisi dan media sosial dirasa tidak dapat mempengaruhi pilihan para difabel, menurut Dewi para difabel cenderung memilih tokoh-tokoh yang familiar bagi mereka. Orang tua juga menjadi salah satu faktor penentu terhadap pilihan mereka.
Para tuna grahita biasanya akan mengikuti pemilu di Tempat Pemilihan Suara (TPS) di sekitar rumah mereka.
Saat ini ISDI memiliki 25 murid tuna grahita yang usianya di atas 17 tahun, rata-rata siswa di sana sudah mengikuti pemilu sebelumnya. Dia pun berharap ada sosialisasi dan simulasi langsung bagi para tuna grahita, agar mereka tidak kebingungan saat berada di bilik suara.
"Mengajarkan cara mencoblos mereka perlu dengan contoh yang nyata, kalau cuma dijelaskan dengan kata-kata mereka tidak bisa membayangkannya," kata dia.
Menurut Dewi setidaknya sebulan sebelum pemilu sudah ada simulasi untuk para tuna grahita.
"Sebenarnya mereka sangat mandiri kalau sudah biasa, mereka bisa mencoblos dengan baik, dan mereka bisa menentukan pilihan mereka sendiri," kata dia.
Baca juga: KPU kesulitan cocokkan data pemilih difabel belum ber-KTP-e
Baca juga: TPS Pemilu gunakan rumah warga menyulitkan akses difabel
Baca juga: Warga difabel minta agar TPS bersahabat
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019