Politik adalah dunia laki-laki, politik adalah dunia orang tua. Kedua premis itu kuat menurut realitas sejarah.
Sejak dulu politik dunia didominasi oleh tokoh laki-laki, tidak banyak perempuan yang berpartisipasi. Proporsi perempuan dalam parlemen di seluruh dunia saat ini baru 18 persen menurut Women Research Institute.
"Memang dunia politik itu dianggap dunia maskulin, tidak cocok dengan gender role (peran gender)," kata pakar psikologi politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk dalam wawancara dengan Antara di Depok, Jumat (1/4).
Sekretaris Dewan Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia itu mengatakan ketimpangan peran gender dalam politik masih terjadi di sebagian besar negara di dunia. Kultur masyarakat yang tradisional dan konservatif melanggengkannya hingga kini.
Sekalipun dipersilakan masuk ke politik, perempuan mula-mula akan menghadapi hambatan psikologis, semisal beban akibat standar ganda bahwa perannya tetap tak sama dengan laki-laki.
Di samping itu, Hamdi mengatakan "there is no gender references in voting preferences (tidak ada hubungan gender dalam kecenderungan memilih)". Banyaknya pemilih perempuan tidak menjamin besarnya keterpilihan politisi perempuan dalam pemilihan umum.
Itu antara lain tercermin dari hasil pemilihan umum 2014, ketika jumlah perempuan yang terpilih menjadi anggota DPR hanya 97 orang atau 17,32 persen dari 560 anggota parlemen, padahal undang-undang sudah mengamanatkan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 persen.
Perempuan yang sudah masuk ke politik pun masih harus menghadapi persepsi sinis dari kolega laki-laki yang menganggap mereka hanya sebagai pemanis untuk memenuhi kuota keterwakilan perempuan 30 persen, yang menurut Hamdi istilahnya semacam "dikasihani undang-undang".
Sebagaimana perempuan, posisi kaum muda dalam politik tidak mudah. Soal premis bahwa politik adalah panggung orang tua atau politisi senior, Hamdi mengungkap fakta menarik dari studinya.
Menurut studi Hamdi, sebagian anak muda bersikap apolitis, namun sebagian lainnya amat bersemangat untuk terjun ke dunia politik.
Mereka yang semangat masuk ke dunia politik mengeluhkan bagaimana partai-partai besar kurang mengakomodasi kaum muda, dan lebih banyak menjadi wadah bagi para politisi senior yang itu-itu lagi.
Setelah berhasil masuk ke partai politik dan mengikuti pencalonan anggota legislatif pun, kans mereka untuk terpilih tidak jauh berbeda dengan kaum perempuan.
Pada pemilihan umum 2019, dari sekitar 192,8 juta orang yang menurut Komisi Pemilihan Umum masuk dalam Daftar Pemilih Tetap ada 60,3 juta lebih atau sekitar 31,3 persen yang berusia 20 sampai 31 tahun.
Namun apakah kaum milenial itu juga akan memilih anak-anak muda yang mengikuti pemilihan anggota legislatif? Jawabannya, tidak ada jaminan.
Itu memunculkan paradoks. Menurut Hamdi, beberapa penelitian menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga DPR rendah, menandakan adanya keinginan untuk mengganti para anggotanya. Namun data juga memperlihatkan para politisi senior dan petahana tetap terpilih kembali dalam pemilihan umum.
Kompetensi dan pengalaman menjadi kekuatan utama para senior dalam dunia politik yang tidak mudah dikalahkan oleh para pendatang baru. Terlebih, politisi senior telah memegang banyak peranan di masyarakat dan telah lama dikenal.
Kekuatan Minoritas Ganda
Calon anggota DPR dari Partai Golkar Puteri Komarudin (25) merasa menjadi minoritas ganda sebagai perempuan dan anak muda.
"Aku triple minority (minoritas rangkap tiga) malah, karena aku anak seorang figur jadi orang ngelihat aku tuh dari awal sudah 'ini anak enggak bisa apa-apa, cuma dompleng bapak doang'," kata anak politisi senior Partai Golkar Ade Komarudin itu di kediamannya di Jakarta Selatan, Jumat (29/3).
Meski mengakui peran penting sang ayah dalam perjalanan politiknya, Ketua Departemen Pemberdayaan Perempuan Partai Golkar itu tidak ingin menggunakan nama ayah sebagai kartu pas untuk mendapat hak istimewa.
Label minoritas ganda, menurut Puteri, punya dua sisi. Hambatan di satu sisi, kekuatan di sisi lain.
Sebagai perempuan, dia akan berusaha menggalang dukungan dari pemilih dengan menjadikan isu kesejahteraan perempuan sebagai titik berat kampanye.
Puteri menyebut masalah "bank emok", pinjaman berbunga dari rentenir untuk ibu-ibu di daerah pemilihannya, sebagai yang pertama yang akan dia selesaikan selain masalah pernikahan anak dan kebijakan pendukung kemandirian ekonomi perempuan.
Pemilihan isu perempuan dan ekonomi tidak lepas dari latar belakang pendidikan Puteri sebagai sarjana keuangan, manajemen, dan pemasaran dari Universitas Melbourne, Australia; serta pekerjaannya di Otoritas Jasa Keuangan sebelum mendaftarkan diri menjadi calon anggota legislatif untuk daerah pemilihan Jawa Barat VII.
Puteri juga bicara soal efisiensi, menyoroti kebiasaan politisi laki-laki mengobrol panjang sampai malam mengenai hal-hal yang menurut dia kurang penting. Dia ingin menghilangkan kebiasaan "basa-basi tanpa esensi" semacam itu.
"Jadi enggak ada tuh ngobrol-ngobrol, ngopi sampai malam, sampai pagi, yang enggak penting sebenarnya. Karena itu kan praktik maskulin banget sebenarnya. Jadi manajemen waktu saja menurut aku," katanya.
Sebagaimana Puteri, Dara Nasution (23) juga menjadikan identitas minoritas ganda yang melekat padanya sebagai kekuatan dalam berpolitik.
Politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) itu mengatakan sebagai anak muda dia bisa mengandalkan dengkul untuk menjangkau konstituen dengan mendatangi pemilih di daerah-daerah terpencil.
Dara menyebut cara kampanye semacam itu tidak banyak dilakukan oleh caleg senior, mengutip keterangan warga yang menyatakan belum pernah dikunjungi caleg saat dia datang.
"Jadi aku melihat bahwa sebenarnya ada kesempatan ini, bahwa ada kerinduan untuk perubahan, dan orang-orang baru kayak aku bisa punya kans di situ,” kata Dara di satu kafe di Jakarta Pusat, Jumat (29/3).
Dara menyebut data-data survei menunjukkan masyarakat ingin mengganti para politisi senior yang tak lagi mereka percayai, dan sebagai politisi muda dia berpeluang menjadi pengganti mereka.
"Ketika tiba-tiba melihat ada aku, anak 23 tahun, perempuan, itu ada shock effect, ada efek kejut yang 'wow siapa itu', jadi orang lebih menengok aku,” tambah lulusan sarjana terbaik Universitas Indonesia 2017 itu.
Lalu bagaimana dengan ongkos politik? Sebagai anak muda yang menyadari mahalnya biaya berpolitik, Dara memilih cara murah. Dia bahkan menyebut dirinya sebagai "caleg sedekah".
Kegiatan mendatangi konstituen secara langsung membuat dia lebih dikenal warga, dan mendapat undangan untuk berbicara dalam acara ibu-ibu. Itu membuat dia tidak perlu mengeluarkan banyak modal untuk bertemu dengan kumpulan calon pemilih.
Puteri dan Dara punya strategi sendiri untuk melawan dominasi politisi laki-laki senior. Mereka optimistis bisa mencapai tujuan berperan di Senayan meski sebagai perempuan dan anak muda harus menghadapi lebih banyak tantangan.
Baca juga:
Politisi perempuan muda hadapi tantangan ganda dalam pemilu
Arzeti Bilbina: Politisi perempuan bisa memperhalus citra politik
Pewarta: Virna P Setyorini & Suwanti
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019