"Sudah sangat mendesak, agar tidak disalahgunakan, tetapi orang tetap bisa memakainya untuk peruntukan yang betul, yakni untuk berhenti merokok, bukan untuk anak-anak," kata Peneliti Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP), Dr. drg. Amaliya, MSc., PhD menjawab pers usai peluncuran Gerakan Bebas TAR dan Asap Rokok (GEBRAK!) di Jakarta, Selasa.
Menurut Amaliya yang juga Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR), regulasi itu sangat penting agar rokok elektrik sebagai salah satu produk tembakau alternatif dapat mencapai sasaran sebagai salah satu strategi untuk mengurangi konsumsi rokok di Indonesia.
"Di negara maju, seperti Inggris dan Kanada serta sejumlah negara Eropa dan Asia seperti Jepang dan Selandia Baru, sudah ada regulasi yang legal dan bisa diandalkan sehingga mereka berhasil mengurangi konsumsi rokok secara signifikan," katanya.
Menurut dia, pemanfaatan PTA adalah salah satu strategi dengan mengurangi dampak atau risiko dari kegiatan merokok agar perokok dan lingkungannya tidak terpapar dampak berbahaya dari kegiatan merokok atau dikenal dengan istilah "harm reduction."
PTA, kata anggota GEBRAK! ini, tidak hanya rokok elektrik tetapi ada juga produk pengurang atau pengalihan dari bahaya nikotin, baik itu berbentuk koyo yang ditempel di badan perokok, dikunyah bahkan ada yang dipanaskan.
"Itu semua bisa mengurangi kadar nikotin bisa hingga 90 persen, sedangkan rokok elektrik bisa sampai 95 persen. Bandingkan dengan rokok konvensional yang jelas-jelas mengandung sedikitnya 400 zat berbahaya," katanya.
Amaliya juga mengaku, pihaknya sudah bertemu Kementerian Kesehatan RI dan intinya mereka sependapat perlunya regulasi untuk PTA ini. Namun, sebelum dibuat regulasinya, masih perlu adanya penelitian tentang sejauh mana PTA ini bisa berguna, termasuk bagaimana tingkat keamanannya baik alat maupun bagi penggunanya.
Akibat belum adanya regulasi PTA, kata Amaliya, selama ini asosiasi rokok elektrik yang membuat aturan sendiri misalnya, dilarang dijual kepada non perokok, anak-anak pada usia tertentu dan lainnya.
20-30 persen
Lebih jauh, dia optimistis jika sudah ada regulasi memadai soal PTA maka upaya untuk menurunkan angka prevalensi perokok di Indonesia akan signifikan.
Dia memberikan contoh, anggap saja, rokok elektrik menyasar kelompok kelas menengah ke atas sekitar 20-30 persen dari total perokok di Indonesia, maka hal itu sudah sangat membantu.
Sementara untuk kalangan bawah, maka, kata dia, perlunya terus menerus dilakukan edukasi tentang bahaya merokok bagi diri dan keluarganya.
Ia juga menyebut, regulasi di Indonesia, terkait dengan rokok ini baru dengan cukai. "Karenanya wajar jika satu dari lima penduduk Indonesia saat ini adalah perokok aktif," katanya.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa prevalensi perokok pada remaja (10 – 18 tahun) terus mengalami peningkatan yaitu 7,2 persen (Riskesdas 2013), 8,8 persen (Sirkesnas 2016), dan 9,1 persen (Riskesdas 2018).
Fakta ini mencerminkan persoalan rokok di Indonesia belum dapat diatasi secara maksimal.
Baca juga: Pakar : perlu ada regulasi rokok elektrik
Baca juga: Ini penyebab perokok tembakau beralih ke Vave, menurut AVI
Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019